Amnesty Internasional Serukan Indonesia Hentikan Eksekusi Mati

acehbaru.com – Pemerintah Indonesia sejak tahun 2015 telah 3 gelombang melaksanakan eksekusi mati. Amnesty International berharap Indonesia  menepati janji-janjinya semasa pemilu untuk memperbaiki penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) dengan segera menerapkan moratorium eksekusi mati.
Josef Roy Benedict Deputy Director – Campaigns Southeast Asia and Pacific Regional Office
Amnesty International
 menyerukan kepada Indonesia untuk meninjau hukuman mati, dan mengubah semua vonis mati dan menghapuskannya dari Undang-Undang nasional sekarang dan untuk selamanya.

Sejak bulan suci Ramadan berakhir pada 5 Juli, Jaksa Agung dan pihak berwenang lainnya telah mengumumkan dalam sebuah wawancara dengan media Indonesia bahwa mereka akan melaksanakan gelombang ketiga eksekusi mati.
Pernyataan Jaksa Agung mengindikasikan bahwa lebih dari dua orang akan dieksekusi dan mereka yang beresiko akan dieksekusi mati segera mencakup warga negara Indonesia, Nigeria, dan Zimbabwe.
Pada 24 dan 25 Juli, dua terpidana mati – Zulfiqar Ali, warga negara Pakistan yang baru saja dipindahkan ke rumah sakit karena kondisi kesehatan yang kronik, and warga negara Indonesia Merri Utami −  dipindahkan ke sebuah penjara di Pulau Nusakambangan, Jawa Tengah. Keluarga dari para tahanan di penjara Pulau Nusakambangan memberi tahu kepada media bahwa kunjungan ditiadakan selama seminggu.
Beberapa perwakilan diplomatik telah diundang pada 25 Juli untuk mengunjungi para terpidana mati dari negeri masing-masing di Cilacap, mengindikasikan bahwa eksekusi mati akan dilakukan paling cepat pada 30 Juli.
Namun demikian, hingga hari ini, pihak berwenang Indonesia belum menyediakan pemberitahuan resmi kepada para keluarga dan pengacara terpidana mati, atau mengumumkan kapan eksekusi mati ini akan dilakukan.
Amnesty International juga prihatin bahwa beberapa di antara terpidana mati yang mungkin akan dieksekusi mati minggu ini belum bisa mengajukan permohonan grasi kepada presiden.
Pernyataan-pernyataan pihak berwenang terkait penerapan hukuman mati sangat memprihatinkan. Ketika Presiden Joko Widodo menjabat pada Oktober 2014, dia menjanjian penghormatan terhadap HAM.
Namun demikian, pemerintahan di bawahnya terus menunjukan penolakan besar terhadap kewajiban HAM Indonesia dan jaminan perlindungan internasional yang harus dijalankan di semua kasus hukuman mati.
Presiden juga menyatakan secara publik pada Desember 2014 bahwa pemerintah Indonesia akan menolak semua permohonan grasi yang diajukan oleh terpidana mati untuk kasus-kasus narkotika, dengan menyatakan bahwa “kejahatan semacam ini tidak layak mendapatkan pengampunan”.
Pihak berwenang Indonesia berulang kali menyatakan bahwa mereka menerapkan hukuman mati sesuai dengan hukum dan standar internasional, dengan mengklaim bahwa eksekusi mati dibutuhkan untuk melawan tingginya kasus-kasus kejahatan narkotika di negeri tersebut.
Walaupun tidak ada bukti efek jera dengan penggunaan hukuman mati, kejahatan narkotika tidak memenuhi ambang batas “kejahatan paling serius” di mana penggunaan hukuman mati harus dilarang di bawah Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, sebuah hukum perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada 2006.
Amnesty International dan organisasi-organisasi HAM nasional lainnya telah mendokumentasikan pelanggaran-pelanggaran dari hak atas peradilan yang adil dan hak-hak fundamental lainnya di beberapa kasus hukuman mati, yang menunjukan sebuah sistem hukum pidana di mana jaminan-jaminan terhadap perampasan hak hidup secara semena-mena secara rutin diabaikan. 
Dengan melanjutkan untuk mengeksekusi mati, pihak berwenang Indonesia tidak hanya melawan kewajibannya terhadap hukum internasional, tetapi juga meletakan negeri ini melawan tren global menuju abolisi hukuman yang paling kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia ini.
Hingga hari ini, mayoritas negara-negara di dunia telah menghapuskan hukuman mati untuk semua kejahatan, termasuk baru-baru ini Fiji dan Nauru masing-masing pada 2015 dan 2016. Lebih dari dua pertiga negara di dunia telah menghapuskan hukuman mati dalam sistem hukum mereka atau secara praktik.
Pemerintah-pemerintah harus menegakan tugas mereka untuk melindungi dan mempromosikan HAM dan hal ini juga harus ditunjukan dengan memimpin debat yang bermakna dan dengan informasi yang mendalam untuk penghapusan hukuman mati.
Sebelum penghapuasn penuh hukuman mati di Indonesia, Amnesty International memperbaharui seruannya kepada para pihak berwenang di negeri ini untuk menghentikan eksekusi mati dan mengambil langkah segera untuk memastikan bahwa semua kasus hukuman mati ditinjau oleh sebuah badan independen dan tidak memihak, dengan pandangan untuk mengubah vonis mati tersebut.
Secara khusus, di kasus-kasus di mana hukuman mati telah diterapkan kepada kejahatan-kejahatan narkotika, atau ketika persidangannya tidak memenuhi standar yang tinggi dari peradilan yang adil, atau ketika penanganan proses hukumnya secara serius cacat, para pihak berwenang yang relevan harus memastikan adanya persidangan ulang yang secara penuh sesuai dengan standar-standar internasional tentang peradilan yang adil dan tidak menggunakan hukuman mati.
Latar Belakang
Eksekusi mati terakhir terjadi di Indonesia dilakukan pada Januari dan April 2015, ketika masing-masing enam dan delapan orang dieksekusi oleh regu tembak. Pihak berwenang mulai membuat persiapan baru untuk eksekusi mati sejak April 2016, ketika mereka memindahkan satu orang dari penjara Cipinang di Jakarta ke Pulau Nusakambangan, di mana 13 dari 14 eksekusi mati dilakukan pada 2015.
Pada 8 Mei, tiga terpidana mati dipindahkan ke Pulau Nusakambangan dari penjara Batam, Kepulauan Riau. Keempat orang tersebut divonis untuk kejahatan narkotika. Menurut informasi yang diberikan oleh petugas keamanan di Nusakambangan, 59 terpidana mati ditahan di penjara tersebut pada awal Mei. Persiapan eksekusi mati ditunda karena bulan puasa Ramadan.
Dalam laporannya pada 2015, “Keadilan yang Cacat: Peradilan yang Tidak Adil dan Hukuman Mati di Indonesia (Flawed Justice: Unfair Trials and the Death Penalty in Indonesia)”, Amnesty International menyoroti 12 kasus hukuman mati yang semuanya menggambarkan sistem peradilan yang cacat di Indonesia yang menghasilkan pelanggaran HAM yang mencolok mati. (rilis) 

Facebook
Twitter
WhatsApp
LinkedIn

Berita Terkait