Ditengah Corona, Perang Pecah di Tripoli dan Misrata, Ini Kisahnya

acehbaru.com | Libya- Di saat dunia sedang dilanda wabah Virus Corona atau COVID-19, perperangan masih terus pecah di Tripoli dan Misrata, Libya.

Kabar terbaru, sebanyak 20 tentara Turki tewas dalam serangan yang dilancarkan pasukan dari Tentara Nasional Libya  alias LNA.

Juru bicara LNA, Mayor Jenderal Ahmed Al-Mismari dalam siaran resminya Jumat 3 April 2020 menyatakan, 20 tentara Turki terbunuh akibat serangan udara LNA ke basis pertahanan milis GNA di wilayah Misrata dalam dua hari terakhir ini.

“LNA menggempur ruang operasi penerbangan di Akademi Angkatan Udara di Misrata menewaskan 20 tentara Turki,” tulis LNA.

Menurut Ahmed, dengan kematian 20 tentara Turki itu, maka sudah lebih dari 50 tentara Turki dan Libya yang tewas dalam pertempuran setelah terjadi kesepakatan antara Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden GNA Fayez al-Sarraj November 2019.

Sejauh pertempuran terus berkecamuk di beberapa lokasi di Kota Tripoli dan Mistara. LNA tak cuma mengerahkan pesawat tempur. Namun juga mengerahkan pasukan darat untuk menggempur basis-basis milisi pro-Turki.

Cerita Awal

Libya, negara kaya minyak di Afrika utara itu dulu pernah menjadi negara dengan standar hidup paling tinggi di Afrika. Rakyat Libya pernah merasakan fasilitas pendidikan gratis dan kesehatan gratis. Tapi sejak Perdana Menteri Muammar Qadafi tewas dibunuh pada Oktober 2011, Libya dilanda berbagai kekerasan dan kekacauan politik serta krisis finansial. Negara di Afrika Utara itu kini di ambang perang saudara.
Dikutip dari laman the Guardian, Libya kini terbelah antara pemerintah yang didukung PBB berkuasa di Ibu Kota Tripoli di sebelah barat dan dilindungi berbagai milisi bersenjata. Di sebelah timur di Benghazi, Jenderal Khalifa Haftar, 75 tahun, tentara loyal Qadafi, membentuk pasukannya sendiri, Tentara Nasional Libya (LNA) dan menguasai hampir dua pertiga Libya, termasuk ladang minyak.
Dimulai dari tiga bulan lalu, Haftar dan pasukannya memulai operasi militer dari daerah kekuasaannya di sebelah timur Libya, termasuk mengambil alih ladang minyak penting di sebelah selatan. Dia bermaksud menggulingkan pemerintahan yang diakui PBB di Tripoli, sebelah barat Libya.
Operasi ini bisa menentukan apakah Libya akan bertahan dengan pemerintahan didukung PBB untuk membentuk demokrasi dan menyatukan faksi-faksi kekuatan yang ada atau jatuh ke tangan kekuasaan militer seperti di Mesir. PBB akan mengadakan konferensi 14-15 April nanti untuk menggelar rekonsiliasi dan pemilu. Haftar berusaha menggagalkan konferensi itu.
Siapa yang berkuasa di Libya?
Sejak pemilu Juni 2014, Libya terbelah menjadi kubu parlemen yang menarik diri ke Tobruk dan koalisi sejumlah tokoh untuk membentuk pemerintahan tandingan di Tripoli. Perpecahan ini menggambarkan sejarah Libya yang dulunya terbagi menjadi wilayah Cyrenaica, sebelah timur Benghazi dan Tripolitania, di barat. Tapi kekuatan menjadi terpecah-pecah di sejumlah kota pesisir, suku, dan kelompok milisi bersenjata serta kaum Islamis. Di Tripolisi sendiri ada empat faksi milisi.
Siapa Khalifa Haftar dan siapa pendukungnya?
Haftar menjadi sorotan publik sejak dia menjadi jenderal yang loyal kepada Qadafi. Dia ikut dalam kudeta yang membuat Qadafi berkuasa sejak 1969. Tapi kemudian dia kecewa dengan Qadafi dan mulai pecah kongsi pada 1987 dan dia hidup di pengasingan di Amerika Serikat. Haftar disebut-sebut lebih condong pada soal keamanan ketimbang demokrasi. Dia juga dikatakan kerap memakai cara kejam untuk membungkam para pembangkang seperti di Kota Derna dan Benghazi.
Mengapa Libya kembali terpuruk?
Libya tidak punya tradisi demokrasi. Sejak beralih dari zaman kolonial Italia ke kerajaan di bawah Raja Idris Libya kemudian berada di bawah kuasa Qadafi selama 20 tahun. Campur tangan militer internasional dipimpin Prancis dan Inggris pada Musim Semi Arab, membuat Qadafi dibunuh pada Oktober 2011. Upaya NATO untuk membentuk negara kesatuan yang demokratis berujung kegagalan.
Bagi rakyat Libya, kondisi semacam ini membuat mereka merasakan inflasi tinggi, jatuhnya mata uang, pembatasan listrik, antrean di bank, dan kekerasan tak bertepi.
Seperti di Suriah dan Yaman, Libya menjadi ajang persaingan sejumlah negara di kawasan Timur Tengah. Turki dan Qatar mendukung pasukan di barat (Tripoli) sedangkan Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan Mesir, mendukung pasukan timur (Haftar) (sumber Viva dan Merdeka.com)

Facebook
Twitter
WhatsApp
LinkedIn

Berita Terkait