Ini Perjalanan Raja Bhumibol Dalam Menjaga Thailand

acehbaru.com – Raja Thailand, Bhumibol Adulyadej, meninggal dunia, hari Kamis (13/10), pada usia 88 tahun, setelah sakit dalam beberapa tahun terakhir dan kondisinya memburuk dalam beberapa hari ini.
Raja yang banyak dihormati di Thailand ini jarang tampil di depan umum dalam beberapa tahun terakhir karena buruknya kesehatannya.

Rakyat Thailand menempatkannya sebagai bapak bangsa yang berada di atas politik walau sering menjadi penengah dalam ketegangan politik untuk menemukan solusi tanpa kekerasan.

Hingga akhir hayatnya, Raja Bhumibol Adulyadej merupakan raja yang paling lama berkuasa di dunia.

Perayaan 70 tahun tahtanya pada Kamis 7 Juni 2016 berlangsung dengan dibayang-bayangi kesedihan karena kesehatannya yang memburuk dan Raja tidak tampil di depan umum.

Suasana yang amat berbeda dengan perayaan 10 tahun sebelumnya, Juni 2006, ketika ratusan ribu orang berkumpul mendengarkan pidatonya.

Raja Bhumibol berkuasa pada 9 Juni 1946 setelah saudaranya, Raja King Ananda Mahidol, meninggal dalam insiden penembakan yang sampai sekarang tidak jelas penyebabnya di Istana Kerajaan di ibu kota Bangkok.

Bhumibol Adulyadej lahir di Cambridge, Massachusetts, AS pada 5 Desember 1927, ketika ayahnya, Pangeran Mahidol Adulyadej, sedang berkuliah di Universitas Harvard.

Keluarga tersebut kemudian kembali ke Thailand, namun ayahnya meninggal saat dia berusia dua tahun.

Setelah kematian ayahnya, ibunya pindah ke Swiss, tempat pangeran muda ini menimba ilmu.

Sebagai lelaki muda, dia menikmati kegemaran berbudaya seperti fotografi, bermain saksofon dan juga menggubah, melukis, dan menulis.

Pada masa itu, status monarki Thailand mengalami ‘penurunan’ setelah kekuasaan monarki absolut dihapuskan pada 1932, dan terjadi pula ‘pukulan susulan’ atas kerajaan ketika pamannya, Raja Prajadhipok, turun tahta pada 1935.

Tahta diserahkan kepada abang Bhumibol, Ananda, yang saat itu berusia sembilan tahun.

‘Pemerintahan boneka’

Pada 1946, Raja Ananda meninggal karena insiden penembakan di istananya di Bangkok -yang hingga sekarang belum terungkap sepenuhnya- dan Bhumibol menduduki tahta ketika masih berusia 18 tahun.

Masa tahun-tahun awalnya sebagai seorang raja, Thailand dipimpin oleh seorang ‘pemimpin sementara’ karena Bhumibol harus melanjutkan studinya di Swiss.

Ketika mengunjungi Paris, dia bertemu calon istrinya, Sirikit, anak perempuan dari duta besar Thailand untuk Prancis.

Pasangan tersebut menikah pada 28 April 1950 atau seminggu sebelum raja baru dinobatkan di Bangkok.

Tujuh tahun awal di masa kekuasannya, Thailand dipimpin seperti kediktatoran militer dan kerajaan seakan-akan seperti ‘pemerintahan boneka’.

Pada September 1957, Jenderal Sarit Dhanarajata mengambil alih kekuasaan dan Raja mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan Sarit sebagai Pembela Militer ibu kota.

Di bawah kediktatoran Sarit, Bhumibol menghidupkan kembali kerajaan, antara lain dengan berkunjung ke provinsi-provinsi dan meminjamkan namanya untuk beberapa pembangunan, khususnya di bidang pertanian.

Semenara Jenderal Sarit mengembalikan tradisi adat yang mewajibkan orang-orang yang menghadap keluarga kerajaan untuk berjalan membungkuk untuk menghormati mereka.

Jatuhnya pemerintahan militer

Bhumibol secara dramatis menengahi politik Thailand pada 1973 ketika para demonstran prodemokrasi ditembaki tentara.

Para pengunjuk rasa diperbolehkan berlindung di istana dan gerakan tersebut menyebabkan jatuhnya pemerintahan perdana menteri waktu itu, Jenderal Thanom Kittikachorn.

Tapi tiga tahun setelah itu, raja gagal untuk mencegah hukuman mati tanpa proses pengadilan atas mahasiswa-mahasiswa sayap kiri oleh paramiliter yang main hakim sendiri.

Pada masa-masa itu, pihak kerajaan cemas atas pertumbuhan simpatisan komunis setelah berakhirnya perang Vietnam.

Ketika terjadi lagi upaya untuk menggulingkan pemerintah, pada tahun 1981, raja memilih berdiri di depan kelompok pejabat militer yang melancarkan kudeta melawan Perdana Menteri Prem Tinsulanond.

Para pemberontak sempat berhasil menduduki ibu kota sampai kelompok-kelompok yang setia kepada raja mengambil alih Bangkok.

Namun, kecenderungan raja yang berdampingan dengan pemerintah dalam hal kekuasaan, menyebabkan beberapa warga Thailand mempertanyakan kenetralannya.

Bhumibol turun tangan kembali dalam konflik politik pada 1992, ketika puluhan demonstran ditembak setelah protes melawan percobaan kudeta oleh mantan pemimpin kudeta, Jenderal Suchinda Kraprayoon untuk menjadi perdana menteri.

Pengaruh kerajaan

Raja memanggil Suchinda, dan pemimpin prodemokrasi, Chamlong Srimuang untuk muncul di depannya, keduanya berjalan membungkuk karena perintah yang tertulis di protokol kerajaan.

Suchinda mundur dan pemilu-pemilu susulan menunjukkan kembalinya pemerintahan demokrasi.

Selama krisis yang muncul selama kepemimpinan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra pada 2006, raja sering kali diminta untuk turut campur tapi bersikeras bahwa hal ini tidak pantas.

Namun, pengaruhnya masih dilihat penting ketika Thaksin menang pemilu pada April, dinyatakan dibatalkan oleh pengadilan.

Thaksin akhirnya makzul dalam sebuah kudeta tanpa pertumpahan darah, di mana militer bersumpah setia kepada raja.

Pada tahun-tahun berikutnya, nama dan figur raja dipanggil oleh kedua faksi baik yang setia maupun melawan Thaksin, karena mereka berlomba-lomba meraih kekuasaan.

Seluruh negeri bergabung untuk merayakan ulang tahun Raja Bhumibol yang ke-80 pada 2008, mencerminkan keunikan statusnya di masyarakat Thailand.

Penghormatan

Jenderal Prayuth Chan-ocha mengambil alih kekuasaan pada kudeta Mei 2014 dan menjadikannya perdana menteri oleh parlemen militer yang ditunjuk beberapa bulan setelah itu.

Dia berjanji pembentukan kembali politik untuk mencegah kembalinya ketidakstabilan pada beberapa tahun belakangan.

Tapi pengkritik mencurigai prioritas utamanya adalah untuk menghancurkan partai mantan perdana menteri, Thaksin, dan untuk memastikan proses kedudukan kerajaan kembali berjalan lancar.

Penghormatan publik atas Raja Bhumibol tulus, tapi juga dengan hati-hati diasuh oleh departemen hubungan masyarakat kerajaan.

Selama masa pemerintahannya yang panjang, Raja Bhumibol Adulyadej menghadapi negara yang terus-menerus mengalami pergolakan politik.

Dalam menghadapi politik, terlihat kecakapannya sebagai seorang diplomat, dan kemampuannya untuk ‘merangkul’ warga sipil di Thailand.

Sehingga dia meninggalkan kerajaan negara itu jauh lebih kuat dibandingkan saat dia memerintah. (BBC)

Facebook
Twitter
WhatsApp
LinkedIn

Berita Terkait