Penembakan Junaidi Bruejuk, Cuek Pemerintah Aceh Timbulkan Pelanggaran HAM

Kembali, janda dan yatim bertambah di Aceh karena penembakan yang dilakukan oleh pihak kepolisian Aceh terhadap Junaidi (diduga anggota Kelompok Din Minimi), terlepas dari kejahatan apapun yang dilakukan oleh korban (Junaidi), apakah korban terlibat dalam kelompok kriminal atau apapun itu, aparat kepolisian mempunyai aturan yang haru ditaati (lihat Perkapolri No 1 Tahun 2009).

Penggunaan Senjata Api oleh Polisi harus mengacu kepada Perkapolri, seperti halnya yang tertuang dalam Pasal 48 huruf b Perkapolri Nomor 8 tahun 2009 yang menerangkan bahwa penggunaan senjata api oleh polisi hanya digunakan saat keadaan adanya ancaman terhadap jiwa manusia. Sebelum menggunakan senjata api, Polisi harus memberikan peringatan yang jelas.

Dalam hal ini, petinggi Polri (Kapolri) harus menindak bawahannya (eksekutor) dan menerapkan prinsip Hak Asasi Manusia, hal ini penting bukan semata-mata untuk melindungi penjahat, akan tetapi perlindungan HAM adalah tanggung jawab negara dan tidak boleh ditawar.

Sebagaimana yang di atur dalam Pasal 28A UUD 1945 menegaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya,” selain itu didalam Pasal 28I ayat (1) menegaskan bahwa hak untuk hidup adalah satu dari tujuh hak asasi manusia yang oleh UUD 1945 dinyatakan sebagai hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights), lebih jelasnya didalam pasal 9 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa setiap orang berhak atas kehidupan dan mempertahankan kehidupannya.

Setelah kasus penembakan yang mengakibatkan meninggalnya korban, siapa yang akan memperhatikan dan membiayai anak dan istri korban, haruskah akan bernasib sama seperti janda dan Yatim DOM Aceh ?

Extra Judicial killing

Pembunuhan diluar proses pengadilan (extra judicial killing) seakan legal dan dibenarkan terjadi di Aceh, terutama pasca kelompok bersenjata (Din Minimi) menyatakan perlawanan terhadap pemerintah Aceh yang mayoritas dikuasai oleh Mantan Kombatan GAM, gubernur Aceh juga sering lepas tangan terhadap kondisi dan bahkan melemparkan tanggung jawab kepada Aparat (pemberitaan media).

Terlepas dari apa yang dilakukan oleh kelompok tersebut, akan tetapi pemerintah Aceh (DPRA, Gubernur-Wakil Gubernur) tidak cuek dan membisu, harusnya pemerintah Aceh harus bijak dalam menutup keran/celah terjadinya konflik, mulai sekarang Pemerintah Aceh harus lebih peka terhadap kondisi.

Berbeda isu akan tetapi hampir sama halnya seperti yang dilakukan oleh Gubernur Aceh era DOM (1989-1998) dalam menumpas AM (sebutan lain adalah GPK), sehingga korban berjatuhan dan melahirkan janda dan yatim.

Pemerintah Aceh dan juga aparat keamanan harus melakukan upaya dan pendekatan yang bersifat humanis supaya tidak lagi jatuh korban, Komnas HAM juga harus melakukan Penyelidikan dan tidak diam menyikapi persoalan ini.

Kenapa benih konflik kian subur, hal ini dikarenakan oleh tidak selesainya kasus pelanggaram HAM masa lalu, sehinga peluang terjadinya pelanggaran HAM dimasa mendatang akan terbuka, negara tidak mengadili pelaku pelaku kejahatan masa lalu sama halnya dengan memberikan kesempatan kepada pelaku yang lain untuk melakukan kejahatan yang sama dimasa sekarang dan mendatang walaupun dalam jumlah kecil.

Bukan maksud untuk memperkeruh suasana, akan tetapi kasus tersebut tidak boleh terulang dan tidak boleh dibiarkan.(*)

Tulisan ini dikirim oleh : Ferry Afrizal (Penyintas / Aktifis HAM Aceh di Jakarta)

Facebook
Twitter
WhatsApp
LinkedIn

Berita Terkait