Pengadilan Yordania Bubarkan Partai Ikhwanul Muslimin, Bagaimana Sejarah Organisasi Itu

acehbaru.com – Seorang pejabat Yordania mengatakan Pengadilan Tinggi di negara tersebut telah memutuskan membubarkan cabang Ikhwanul Muslimin di negara itu. Pembubaran dilakukan karena kegagalan kelompok itu memperbaiki status hukumnya.
“Pengadilan Kasasi, Rabu (15/7) kemarin mengeluarkan putusan akhir yang menetapkan kelompok Ikhwanul Muslimin dibubarkan dan telah kehilangan status hukumnya, karena gagal memperbaiki status hukumnya di bawah hukum Yordania,” kata pejabat yang namanya minta tidak disebutkan, dilansir di Asharq Al-Awsat, Jumat (17/7).
Dengan dikeluarkannya putusan ini, maka perseteruan di tubuh Ikhwanul Muslimin Yordania resmi usai. Beberapa tahun terakhir, diketahui terjadi perpecahan di kelompok Ikhwanul Muslimin Yordania.
Pertikaian ini berujung perpecahan dan terbentuknya kelompok baru yang menamakan diri Masyarakat Ikhwanul Muslimin.
Sejak 2014, otoritas Yordania menganggap partai politik (parpol) itu ilegal. Otoritas menyebut izin kelompok ini tidak diperbarui berdasarkan undang-undang 2014 tentang partai politik.
Di Yordania, Ikhwanul Muslimin terkait dengan parpol Islamic Action Front. Parpol tersebut menempati 15 kursi di parlemen.
Meski Ikhwanul Muslimin terus beroperasi, tetapi hubungannya dengan negara Yordania memburuk. Terlebih pada 2015 ketika Pemerintah Yordania memberikan status hukum pada kelompok Masyarakat Ikhwanul Muslimin.
Masyarakat Ikhwanul Muslimin memastikan, mereka sama sekali tidak punya ikatan dengan kelompok Ikhwanul Muslimin pusat di Mesir.
Kepala Dewan Penguasa Organisasi, Sheikh Hamza Mansur, mengatakan kelompok itu akan mengajukan banding terhadap keputusan yang dikeluarkan Pengadilan Tinggi.
“Ikhwanul Muslimin adalah model moderasi dan elemen penting dalam memperkuat persatuan nasional, jadi membubarkannya bukan demi kepentingan nasional,” katanya.
Sejarah Kelompok Ikhwanul Muslimin
Kelompok Ikhwanul Muslimin menjadi perhatian dunia pada 2012 ketika mampu merebut kekuasaan di Mesir, setahun kemudian presiden terpilihnya digulingkan oleh militer, dan pemerintah yang baru menyebut mereka sebagai organisasi teroris serta mendorong negara-negara lain melakukan hal yang sama.
Selasa (30/4/2019) kemarin, pemerintah Amerika Serikat mengumumkan rencana untuk mengkategorikan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris.
Ikhwanul Muslimin adalah organisasi Islam tertua dan terbesar di Mesir, didirikan oleh Hassan al-Banna pada 1928.
Gerakan ini awalnya dimaksudkan untuk menyebarkan nilai-nilai Islam, tetapi kemudian tumbuh menjadi gerakan politik. Di Mesir terutama, gerakan ini berjuang melawan koloni Inggris dan memberantas semua pengaruh dari Barat.
Mereka mampu menyebar ke seluruh dunia lewat aktivitas politik yang dipadukan dengan kegiatan amal.
Para anggotanya mengklaim bahwa mereka mendukung prinsip-prinsip demokrasi, tetapi tujuan yang telah ditetapkan adalah membentuk negara yang didasarkan pada hukum Islam atau syariah. Slogan yang dipakai di seluruh dunia berbunyi: “Islam adalah solusi”.
Kelompok Bersenjata
Setelah Banna mendirikan Ikhwanul Muslimin pada 1928, cabang-cabangnya segera dibentuk di seluruh negeri dan masing-masing menjalankan sekolah, masjid, dan organisasi olahraga. Jumlah anggotanya lalu meningkat dengan pesat.
Pada akhir dekade 1940an, kelompok ini diperkirakan sudah memiliki 500.000 anggota di Mesir, dan ideologinya telah menyebar di berbagai penjuru di Timur Tengah.
Pada saat yang sama, Banna mendirikan sayap militer Ikhwanul Muslimin yang disebut “aparat khusus”. Sayap ini bergabung dengan kekuatan lainya untuk melawan penjajahan Inggris dan terlibat dalam serangkaian pemboman dan pembunuhan.
Pemerintah Mesir kemudian membubarkan kelompok ini pada akhir 1948 karena tuduhan menyerang target-target Inggris dan Yahudi.
Tak lama berselang, Ikhwanul Muslimin juga dituduh membunuh Perdana Menteri Mahmoud al-Nuqrashi.
Banna mengecam pembunuhan itu, tetapi dia sendiri kemudian tewas ditembak, diyakini oleh seorang anggota pasukan Mesir.
Pada 1952, penjajahan berakhir lewat kudeta yang dipimpin oleh kelompok perwira muda bernama Perwira Pembebasan (Free Officers).
Ikhwanul Muslimin ikut mendukung kudeta para perwira itu, salah satunya adalah Anwar Sadat yang menjadi presiden pada 1970. Ikhwanul Muslimin awalnya bekerja sama dengan pemerintah, tetapi hubungan mereka memburuk dengan cepat.
Bahkan, Ikhwanul Muslimin dituduh terlibat dalam kudeta yang gagal terhadap Presiden Gamal Abdul Nasser pada 1954, dan ribuan anggotanya kemudian dipenjara dan disiksa. Namun, kelompok ini tetap berkembang lewat gerakan bawah tanah.
Sayyid Qutb
Bentrokan dengan aparat mengakibatkan perubahan ideologi pada Ikhwanul Muslimin, terutama tercermin dari tulisan-tulisan anggotanya yang terkemuka, Sayyid Qutb.
Tulisan Qutb menyerukan jihad melawan masyarakat jahiliyah yang menurutnya perlu ditransformasi.
Karya dia berjudul Milestones yang ditulis pada 1964 menginspirasi banyak tokoh pendiri gerakan radikal seperti al-Qaeda.
Pada 1965, pemerintah kembali menyerbu kelompok ini dan mengeksekusi mati Qutb pada 1966.
Pada dekade 1980an, Ikhwanul Muslimin kembali berupaya masuk ke politik. Para pemimpinnya beraliansi dengan Partai Wafd pada 1984, lalu dengan Partai Buruh Sosialis dan Partai Sosialis Liberal pada 1987, sehingga menjadi kekuatan oposisi besar di Mesir. Pada 2000, Ikhwanul Muslimin merebut 17 kursi di DPR Mesir.
Menguasai Parlemen
Lima tahun kemudian, Ikhwanul Muslimin meraih hasil terbaiknya dalam pemilu sampai saat itu, dengan memenangi 20 persen kursi parlemen bersama para kandidat independen yang bersatu dengan mereka.
Hasil itu mengguncang Presiden Hosni Mubarak. Pemerintah kemudian menangkap ratusan anggotanya, dan melancarkan “reformasi” di bidang hukum untuk mencegah kebangkitannya lagi.
Konstitusi juga diamendemen untuk mengesahkan pasal bahwa “setiap aktivitas politik atau partai politik tidak boleh didasarkan pada latar belakang atau basis agama apa pun”.
Kandidat independen juga dilarang mengikuti pemilihan presiden; undang-undang anti-terorisme disahkan untuk memberi kewenangan bagi aparat melakukan pembersihan; dan perserikatan umum dibatasi.
Pada awal 2011, gerakan revolusi kawasan yang bermula dari Tunisia atau Arab Spring mulai merambah Mesir, dimulai dengan demonstrasi anti-pemerintah di berbagai penjuru negeri.
Meskipun banyak anggota Ikhwanul Muslimin ikut dalam aksi tersebut, mereka tetap berusaha tidak tampil mencolok. Slogan yang umum mereka pakai tidak terlihat di Alun-alun Tahrir, Kairo.
Aksi protes yang meluas itu membuat pemerintah bersedia memberikan konsensi, termasuk janji Mubarak untuk tidak ikut pilpres lagi pada September 2011. Saat itulah kekuatan oposisi Mesir mulai memainkan peranan besar.
Setelah Mubarak digulingkan pada Februari 2011, digelar pemilu legislatif dan Partai Kebebasan dan Keadilan (PKK) yang berakar dari Ikhwanul Muslimin memenangkan hampir separuh kursi DPR tanpa butuh bantuan dari para kandidat independen.
Partai ultrakonservatif Salafist Nour berada di urutan kedua, yang artinya partai-partai Islam menguasai 70 persen kursi di DPR. Hasil yang mirip juga terjadi di MPR Mesir atau disebut Dewan Syuro.
Hal itu memungkinkan Ikhwanul Muslimin dan para sekutunya untuk menguasai majelis konsituen yang beranggotakan 100 orang dan bertugas merancang konstitusi baru. Akibatnya muncul kritik dari kelompok liberal, sekuler, umat Kristen, dan generasi muda yang mengeluh bahwa majelis tidak mewakili kebinekaan dalam masyarakat Mesir.
Kekhawatiran bahwa Ikhwanul Muslimin akan memonopoli kekuasaan makin meningkat setelah mereka mengumumkan akan mengajukan calon presiden, meskipun sebelumnya berjanji tidak akan melakukan itu.
Pada 2012, Ketua PKK waktu itu, Mohammed Morsi, menjadi presiden pertama Mesir yang terpilih secara demokratis. Dia memenangkan 51 persen suara di putaran kedua melawan purnawirawan angkatan udara Ahmed Shafiq.
Morsi berusaha meyakinkan lawan-lawan Ikhwanul Muslimin bahwa sebagai presiden dia ingin membangun “negara yang demokratis, dikuasai sipil, dan modern” yang menjamin kebebasan beragama dan demonstrasi damai.
Digulingkan
Perlawanan masyarakat terhadap Morsi dan Ikhwanul Muslimin mulai meningkat sejak November 2012.
Ketika itu Morsi memperluas kewenangannya untuk memastikan bahwa Dewan Konstituen bisa segera merancang konstitusi baru. Akhir bulan itu, majelis menyetujui rancangan konstitusi yang terkesan dipaksakan, dan diboikot oleh kelompok liberal, sekuler, dan umat Kristen, yang menyebutnya gagal menjamin kebebasan berpendapat dan beragama.
Ketika perlawanan meningkat, Presiden Morsi mengeluarkan dekrit untuk memberi wewenang bagi militer dalam melindungi lembaga-lembaga negara dan tempat pemungutan suara sampai digelarnya referendum tentang rancangan konstitusi pada Desember 2012. Langkah ini dikritik sebagai penerapan hukum besi.
Tentara kembali ke barak setelah konstitusi disetujui, tetapi beberapa pekan kemudian dikerahkan lagi ke berbagai kota di sepanjang Terusan Suez untuk menghentikan pertikaian antara kelompok penentang melawan pendukung Morsi dan Ikhwanul Muslimin.
Pada akhir Januari 2013, militer memperingatkan bahwa krisis politik itu bisa membawa kehancuran bagi bangsa.
Pada akhir April, para aktivis perlawanan melakukan gerakan Tamarod atau pemberontakan. Mereka mengumpulkan tanda tangan untuk petisi atas kegagalan Morsi memulihkan keamanan dan perekonomian. Morsi juga dituduh mendahulukan kepentingan Ikhwanul Muslimin di atas kepentingan negara. Tamarod juga menggelar aksi massa saat ulang tahun pertama kepemimpinan Morsi. Pada 30 Juni 2013, jutaan warga menggelar aksi di jalan menuntut dia mundur.
Ketegangan dan tingginya korban jiwa dalam rangkaian peristiwa itu memaksa tentara memperingatkan Morsi pada 1 Juli bahwa mereka akan campur tangan dan membuat peta jalan sendiri jika dia tidak mampu memenuhi tuntutan rakyat dan menghentikan krisis politik dalam waktu 48 jam.
Pada 3 Juli, militer mengerahkan pasukan dan kendaraan lapis baja ke jalan, menyatakan bahwa konstitusi dibekukan dan ketua Mahkamah Agung menjabat presiden menggantikan Morsi.
Ikhwanul Muslimin mengecam tindakan itu sebagai kudeta militer terhadap presiden terpilih dan keinginan rakyat, dan bertekad tidak akan patuh pada pemimpin interim.
El-Sisi
Tindakan militer itu dipimpin oleh panglima militer Abdel Fattah el-Sisi.
Para pendukung Ikhwanul Muslimin melawan dengan berkumpul di Alun-alun Nahda dan wilayah dekat Masjid Rabaa al-Adawiya, menolak untuk dibubarkan.
Setelah kebuntuan selama beberapa pekan, pasukan keamanan Mesir akhirnya menyerbu ke tenda-tenda demonstran di Rabaa pada 14 Agustus 2013 dan menewaskan ratusan warga sipil.
Pada 26 Maret 2014, el-Sisi mengundurkan diri dari militer agar bisa maju sebagai calon presiden. Pemilihan digelar pada 26 dan 28 Mei, dan dia menang dengan 91 persen suara. Namun, diperkirakan hanya 47 persen warga usia pemilih yang memberikan suara.
El-Sisi dilantik sebagai presiden pada 8 Juni 2014. (sumber republika |beritasatu/ren)

Facebook
Twitter
WhatsApp
LinkedIn

Berita Terkait