Polisi yang Melawan Atasan

Penangkapan Novel Baswedan, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, pekan lalu menunjukkan cara kerja polisi yang serampangan, meskipun bukan bertujuan mendiskreditkan KPK. Dalam 1 x 24 jam, tim penyidik Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia memaksakan penangkapan, pemeriksaan, juga rekonstruksi yang jauh dari Jakarta. Sepanjang waktu yang sama, polisi berbohong sekurang-kurangnya dalam tujuh hal.
Alasan polisi, penjemputan paksa Novel pada Jumat dinihari pekan lalu itu dilakukan demi merekonstruksi kasus yang diduga melibatkannya. Novel dituduh menganiaya pencuri sarang burung walet saat menjabat kepala satuan reserse di Kepolisian Resor Bengkulu pada 2004. Polisi pernah hendak “menghidupkan” kasus ini pada 2012. Ketika itu KPK baru saja menetapkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo sebagai tersangka kasus korupsi simulator kemudi.
Proses hukum terhadap Novel memang tak serta-merta berhenti setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan meredakan ketegangan antara Polri dan KPK. Tapi, sebagaimana kata Yudhoyono waktu itu, upaya polisi melanjutkannya kali ini pun tidak tepat dalam hal waktu dan cara-dan semestinya tak pernah tepat dalam hal apa pun dan kapan pun.
Novel sebenarnya sudah menjalani pemeriksaan kode etik di Markas Polres Bengkulu dan Polda Bengkulu dalam kaitan dengan kasus yang pelakunya adalah anak buahnya itu. Dia lalu dikenai sanksi berupa teguran.
Walau demikian, sanksi ini tidak berakibat apa-apa pada kedudukannya. Dia masih dipercaya menjabat Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bengkulu sampai Oktober 2005. Dia bergabung dengan KPK pada 2006 dan memutuskan bertahan di sana.
Penetapannya kembali sebagai tersangka sulit dipisahkan dari upaya KPK mengusut kasus dugaan korupsi yang melibatkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Tidak hanya berupaya mempercepat penanganannya, melalui penangkapan dan kemudian pemberkasan serta rekonstruksi yang menurut penasihat hukum Novel menabrak-nabrak aturan beracara, polisi bahkan melancarkan serangan murahan dengan memfitnah Novel memiliki empat rumah.
Semua yang dilakukan polisi itu sangat sulit bisa diterima sebagai bagian dari proses hukum. Kesan yang timbul justru polisi sedang melakukan pembunuhan karakter, di samping kriminalisasi-mengada-adakan tuduhan telah melakukan kejahatan.
Tindakan ini, bagaimanapun, merupakan pembangkangan terhadap perintah Presiden Joko Widodo saat timbul kegaduhan karena polisi mengkriminalkan dua pemimpin KPK, yakni Bambang Widjojanto dan Abraham Samad.
Penasihat hukum Novel kini sedang menyusun rencana untuk mempraperadilankan polisi. Inilah langkah yang semestinya dilakukan. Tapi, pada saat yang sama, tidak berlebihan jika diserukan juga tuntutan untuk merombak pimpinan Polri, sebagai bagian terpenting dari upaya sungguh-sungguh pembersihan salah satu lembaga penegak hukum itu. Sangat kentara pimpinan yang ada justru cenderung menghancurkan Polri.
Presiden perlu merespons desakan itu dengan tindakan-tindakan yang lebih dari sekadar perintah sebagai atasan-yang sudah berkali-kali diabaikan. Tanpa keputusan yang berani, kesewenang-wenangan seperti yang dilakukan terhadap Novel, juga pimpinan KPK dan para pendukungnya, bakal terus ada.(*)

Facebook
Twitter
WhatsApp
LinkedIn

Berita Terkait