Sejarah lahirnya Almuslim Peusangan

acehbaru.com – Kisah besar ini diawali oleh Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap, masa itu ia sudah menjadi sebagai pengajar di dayah ( Pesantren ), sebagai teungku di rangkang di Cot Meurak, Bireuen. Selain sebagai tengku rangkang disana, ia sebagai Teungku di Balee di kampungnya sendiri.

Namun ilmu yang didapatkan itu tidak lah cukup baginya, ia masih ingin mendalami ilmu, dalam bidang ilmu falak. saat itu beliau mendengar bahwa di Sumatera Timur ada seorang ulama besar yang mahir dalam bidang ilmu falak, yaitu Syeikh Hasan Ma`shum. tidak menunggu lama bersama tiga orang temannya semasih nyantri di Cot Meurak Bireuen masing-masing, Tgk. Ahmad Lampupok dari Aceh Besar, Tgk. Arifin Samalanga, Tgk. M. Husin Niron, Sibreh, Aceh Besar.

Mereka berempat berangkat ke Sumatera Timur. Mula – mula menuju Tanjung Pura, ibu kota kerajaan Langkat, menemui Tuan Syeikh Usman, Qadli Sulthan Langkat untuk menyampaikan maksud kedatangan mereka, yaitu untuk memperdalam ilmu Falak.

Tuan Syeikh menyuruh mereka menemui langsung kepala sekolah. Keputusan kepala sekolah tidak dapat menerima Tgk.Abd.Rahman dan kawan-kawanya. Pertama karena umur mereka sudah tidak sebaya dengan pelajar-pelajar yang sudah ada dan Kedua karena mereka di anggap sudah dapat mengajar di sekolah itu. Kepala sekolah menganjurkan kepada mereka supaya lansung saja ke Medan untuk berguru kepada Tuan Syeikh Hasan Ma`shum, yang kira-kira masih pantas menjadi guru mereka dengan meminta waktu tersendiri.

Anjuran itu dituruti, tetapi ternyata sampai ke medan, Tuan Syeikh Hasan Ma`shum sudah penuh waktunya, sehingga ia tidak dapat memberikan waktu yang khusus, melaikan disuruh ikuti saja bersama-sama dengan para pelajar lain. Sesudah dicobanya, ternyata pelajaran yang diberikan masih rendah, sesuai dengan tingkat pengetahuan para pelajar yang sudah ada lebih dahulu.

Lalu Teungku Abd.Rahman dan kawan-kawannya memutuskan untuk kembali lagi ke Tanjung Pura. Mereka tinggal disana selama lebih kurang enam bulan lamanya. Selama itu Teungku Abd.Rahman memperhatikan cara belajar dengan memakai bangku dan papan tulis yang menurut pandangannya jauh lebih efektif dibandingkan dengan cara belhalqah di Dayah.

Sepulangnya dari langkat, Teungku Abd.Rahman berminat akan mengajar cara sekolah. Untuk ini beliau sudah menyediakan sepetak kebunnya sendiri di Meunasah Meucap yang disebut “ Lampoh Mamplam Change “

Kebetulan seorang kawan Tgk.Abd.Rahman bernama Tgk .Harun, mengajak untuk membeli sepetak kebun merica di kampong Tiengkeum, kecamatan Gandapura yang mau dijual oleh seorang penduduk disana, sedang harga merica pada waktu itu sangat baik. Akhirnya Tgk. Abd.Rahman jadi membeli kebun merica itu, kemudian berita ini sampai kepada Nek Ben, Zelfbestuurder Van Gelumpang Dua (Gandapura sekarang )

Nek Ben memanggil Tgk. Qadlinya bernama Tgk.H.Nyak dan menyuruhnya menjajaki apakah Tgk . Abd.Rahman yang sudah membeli kebun merica itu mau mengajar di daerah Geurugok ? Tgk. H. Nyak segera menemui Tgk.Abd.Rahman untuk menyampaikan pesan Nek Ben. Tgk. Abd.Rahman menjawab bahwa mengajar itu memang pekerjaannya dan dimana saja tidak keberatan.

Hanya karena beliau adalah rakyat Peusangan, maka kalau mau mengajar diluar Peusangan, harus minta izin dulu pada Ampon Chik Peusangan. Dalam hal ini Tgk H. Nyak lah yang harus meminta izin kepada beliau. Tgk.Haji Nyak pun segera menghadap Teuku Haji Chik Peusangan untuk meminta izin dimaksud atas nama Nek Ben Geurugok.

Ampon Chik Peusangan menjawab akan merundingkan dulu dengan Tgk .Abd.Rahman Meunasah Meucap sendiri. Beberapa hari kemudian Ampon Chik Peusangan mengundang Tgk.Abd.Rahman Meunasah Meucap, Tgk.H.M.Amin, Qadli Negeri Peusangan dan Tgk. Abd. Razak Jangka untuk datang ke “ Rumoh Geudong “ (Kediaman Ampon Chik ).

Sudah tiga kali mereka datang, belum juga di singgung-singgung mengenai pendirian sekolah, baik oleh Ampon Chik, maupun oleh Tgk.Abd.Rahman, masing-masing menunggu. Ampon Chik hanya asyik menceritakan kemajuan daerah-daerah lain di luar Aceh, di Jawa dan di Sumatra Barat.

Dalam pada itu, Tgk.Abd.Rahman dijumpai oleh Tgk.Daud Beureueh yang pada waktu itu. sedang mengajar didayah Uteun Bayi, Lhokseumawe yang didirikan oleh Maharaja Lhokseumawe.

Tgk. M.Daud menyampaikan gagasan Tgk.Syeikh Abd.Hamid yang lebih terkenal dengan sebutan Ayah Hamid mengenai pembaharuan cara pendidikan agama yang disampaikan via Tgk. Abdullah Ujung Rimba dari Mekkah.Pesan itu disampaikan dengan menulis tangan dalam majalah bahasa Arab yang terbit di Mekkah dan dikirim kepada Tgk. H.Abdullah Rimba di Sigli.

Pucuk di cinta ulam tiba. Minggu keempat rupanya Ampon Chik Peusangan tidak sabar lagi. Lalu menanyakan pendapat ketiga ulama tersebut tentang pendirian sebuah sekolah agama di Peusangan.

Tentu saja mereka sangat setuju. Mereka memang sudah menunggu-nunggu, dengan maksud kalau Ampon Chik yang mengemukakan, tentulah akan mudah kiranya meminta fasilitas – fasilitas yang di perlukan, di banding kalau yang mengajukan itu Tgk.Abd.Rahman sendiri.

Firasat beliau, memang sudah ada, karena sudah memperkirakan, bahwa Ampon Chik Peusangan tidak akan mengizinkannya pindah ke Landschap lain di luar Peusangan dan mesti akan mengusahakan berdirinya sekolah atau dayah di Peusangan sendiri. (Ismuha, Ulama Aceh Tgk. Abd.Rahman Matangglumpangdua , Pustaka Awe Geutah, 1949)

Demikianlah pada tanggal 21 Jumadil Akhir 1348 Hijriah, bertepatan dengan 24 November 1929 Masehi. dilangsungkan suatu rapat yang menghasilkan terbentuknya sebuah organisasi bernama Jami’ah Al-Muslim dengan susunan pengurus adalah sebagai berikut:

Ketua : Tgk. Abd. Rahman Meunasah Meucap,Wakil Ketua : Tgk. H.M.Amin Bugak, Qadli Negeri Peusangan, Sekretaris : Tengku Nurdin, Guru Vervolschool, Bendahara : Guru Husen Samalanga, Kepala Vervolschool

Komisaris-komisaris antara lain T.Haji Muhammad Ali, Tgk.Abdul Razak Jangka dan Tgk.Syeikh Hamzah yang kemudian lebih terkenal dengan Tgk. Syeikh Peusangan yang di gelarkan oleh Ampon Chik Peusangan sendiri karena dia pandai sekali berpidato. Anggaran dasarnya baru selesai dibuat pada tanggal 2 januari 1930 sebagai juga UUD 1945 baru disahkan pada 18 Agustus 1945 ( Lihat Lampiran I )

Kebetulan pada tahun 1929 itu , Ampon Chik Peusangan baru saja mengawinkan puterinya yang pertama Cut Ramlah dengan Zelfbestuurder Van Keuretoe, T.Ali Basyah. Perayaan perkawinan itu diadakan selama satu minggu dan cukup meriah, Seluruh gampong memberikan macam-macam sumbangan, ada yang menghadiahkan Balee dan macam-macam lainya.

Jam’iah Al-Muslim memutuskan untuk dapat cepatnya berdiri sebuah sekolah agama yang direncanakan sebagai program pertama, untuk sementara gedung sekolah itu di bangun secara darurat saja dulu.

Bahan-bahannya dapat di pergunakan kayu-kayu bekas yang dipergunakan pada acara perayaan tersebut. Lokasinya tetap dekat mesjid Matangglumpangdua ( yaitu ditempat berdirinya SMP Negeri sekarang ). Untuk pertama kali dibangun dua lokal dan selebaran pun di sebarkan seluruh Aceh Utara.

Ternyata banyak mendapat perhatian terutama di Peusangan sendiri, Makmur dan Gandapura, sehingga untuk pertama kali di buka kelas satu.

Gedung darurat selesai dibuat, pendaftaran murid selesai dikerjakan, maka pada tanggal 14 Zulhijjah 1348 H. bertepatan dengan tanggal 13 April 1930, diresmikan pembukaan Madrasah Almuslim Peusangan.

Murid-murid pertama ini banyak yang besar-besar,seperti Haji Juned, Cut Hasan dan Habib Yusuf dari Gandapura, ‘Izzuddin, Mahmud Jasalek dan T. Muhammad Muda Keude dari Peusangan sendiri.

PARA GURU.
Untuk tahun pertama ( April 1930 ) di angkat dua orang guru untuk dua kelas, yaitu Habib Mahmud (alm) merangkap kepala sekolah dan Teungku Haji Ridwan yang lebih terkenal dengan sebutan Tgk. Haji Cut Cot Meurak.

Pada bulan Agustus 1930 diadakan penerimaan murid baru. Oleh karena itu di tambah seorang guru lagi, yaitu Tgk.Haji Muhammad Abbas Bardan yang disebut juga Tgk. Di Jangka(
alm). Tgk.Abd.Rahman (alm) sendiri tidak mengajar, melainkan mengurus dan mengawasi.

Hampir setiap hari beliau datang dan menggantikan mengajar apabila ada guru yang berhalangan. Pada tahun 1931 ditambah tiga orang guru lagi, yaitu Tgk.Ibrahim Meunasah Barat (alm), Tgk.M.Abed Idham Pante Ara dan Tgk.Hasan Ibrahim Awe Geutah (alm) yang khusus mengajar Khath dan Qur’an, karena selain beliau qari juga mempunyai suara emas.

Sesudah pindah ke gedung permanent di jalan Tgk.Abd.Rahman sekarang, ditambah lagi dua orang guru yaitu, Tgk.Usman Aziz dari Lhoksukon yang baru pulang dari Normaal Islam Padang ( sesudah merdeka pernah menjadi Bupati Aceh Utara dan Bupati Pidie ), dan Tgk.Abdullah Geudong (Bireuen) yang kemudian terkenal dengan sebutan Tgk.Bullah MDI (alm).

Tgk.Usman Aziz mengajar berbicara dan mengarang dalam bahasa Arab, Ilmu Jiwa (‘Ilmu ‘n-Nafs) dan Ilmu pendidikan (‘Ilmu ‘t-Tarbiyah), sedang Tgk.Abdullah mengajar Balaghah.

Pada tahun 1936 ditambah satu orang guru lagi khusus untuk kelas I, yaitu Tgk. ‘Izzuddin yang pada waktu itu masih menduduki kelas VII. Tahun 1938 ‘Izzuddin naik mengajar ke kelas II s/d kelas IV, sedang untuk kelas I di angkat dua guru lagi, yaitu Ismail Muhammad Syah dan Yahya Hanafiah Jangka.

Tetapi Ismail Muhammad Syah hanya satu tahun saja mengajar.kemudian meudagang ke Samalanga setahun, kemudian memasuki Normaal Islam Instintut di Bireuen yang dibuka oleh PUSA pada tanggal 27 Desember 1939.

Pada akhir tahun 1941 Tgk.Mahyiddin Yusuf dan Tgk. M.Ali Balwy selesai sekolahnya di Normaal Islam Padang dan pulang ke Aceh dan menambah tenaga guru Al-Muslim. Kemudian disusul pula oleh yang lain-lain, seperti Engku Sultan Nurdin Sumatera Barat.

Habib Mahmud, yang pertama dan yang paling lama.
Tgk.Mahyeddin Yusuf, sampai dia di angkat menjadi Kepala Negeri Peusangan ( tahun 1946 )
Tgk. Muhammad Ali Balwy, sampai di angkat menjadi kepala kantor penerangan Kabupaten Aceh Utara.
Ustaz Ahmad Gani, sampai ia melanjutkan pelajarannya ke PTIN di Jokjakarta..
Tgk.M.Yusuf Affan, selama satu tahun kemudian pindah ke lingkungan penerangan.
Tgk. M.Daud Hamzah

Al-Muslim di negerikan.

Mata pelajaran yang diajarkan, Mata pelajaran  yang di ajarkan di Madrasah Al-muslim disesuaikan dengan perkembangan zaman, diantaranya Bahasa Arab, berupa Nahwu,Sharaf,Muthala’ah,Mudatsah (bercakap),Insya’ (mengarang),Imla’ (dekte),Khath (tulisan Indah),Mahfuzhat,Balaghah.

Untuk mata pelajaran AL.Qur’an terbagi menjadi dua, Tajwid, dan Tafsir. Sementara untuk mata pelajaran Hadist, juga terbagi Matan Hadist, Mushthalah Hadist.

Sementara Tauhid, terkait didalamnya ilmu Fiqah (Fiqih) Ushul Fiqih, serta ilmu Akhlak dan Tashauf.  Ilmu Manthiq ( logika )Tarikh Islam.‘Ilmu ‘n-Nafs (ilmu jiwa)‘Ilmu ‘t-Tarbiyah (ilmu pendidikan) ‘Ilmu ‘l-Hisab (berhitung). Ilmu Jughrafy (ilmu bumi)

Semua pelajaran itu diberikan dalam bahasa Arab, maka tidak heran lulusan Al-Muslim dimasa silam dapat menguasai  bahasa Arab. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya di tambah mata pelajaran yang di berikan dalam bahasa Indonesia yaitu : Bahasa Indonesia, Bahasa Inggeris, Al-Jabar, Sejarah Indonesia, Menyanyi.

Perlu dicatat bahwa semua matapelajaran itu tidak diberikan setiap tahun, melainkan dibagi dalam masa 7 tahun kecuali Bahasa Arab. Diluar roster biasa, diberikan juga : Cara ber-organisasi,Latihan Pidato,Olah Raga ( Sepak Bola ),Kepanduan ( kepramukaan )

Musik, semua ini khusus kepada masing-masing yang berbakat, kepanduannya terkenal dengan nama KAMUS (Kepanduan Al-Muslim ), kesebelasan sepak bola, juga pernah jaya dengan memakai nama KAMUS juga, dengan bintang-bintangnya, Ishak,Cadek, Zamzam dan Lain-lain.

Kemudian Ishak dan Cadek ditarik masuk ke SINAR PEUSANGAN dan paling akhir di pakai juga dalam kesebelasan VOA Bireuen yang cukup terkenal sebagai kesebelasan yang tangguh di Aceh di samping TAP Sigli.

Sebagai realisasi dari pelajaran ber-organisasi, dibentuklah :Jam’iyatu ‘t-Tullaab,Ruhu ‘l-Fataa,M.A.S(Murid Al-Muslim Sepakat), Imusrib.
Begitu juga dengan kitab-kitab yang di pergunakan, sebagaimana mata pelajaran yang di ajarkan selalu berkembang, maka demikian pula halnya dengan kitab-kitab yang dipergunakan juga berkembang dan hamper tiap tahun disesuaikan dengan keadaan.
Dalam tahap pertama, kitab-kitab yang dipergunakan adalah sebagai berikut ;Bahasa Arab, untuk Muthalaah, sejak kelas I s/d kelas III dipakai Duruusu ‘l Lughah Al-‘Arabiyah, karangan Mahmud Yunus Padang.
Untuk kelas IV , Qira’atu ‘r-Rasyidah jilid IV dari Mesir.
Untuk kelas V , Izhatu ‘n-Naasyi-iyn karangan Mushtafa Al-Chalayiny
Untuk kelas VI , dan VII Al-Islaamu Ruuhu ‘l-Madaniyah.
Untuk Nahwu, kelas I Ajruumiyah, kelas II Mukhtashar Jiddan, kelas III dan IVMutammimah, kelas V,VI dan Kelas VII Jaami’Al-Lughah Al-Arabiyah Jilid I karangan Mushtafa Al-Chalayiny.
Untuk Syaraf, kelas I Tashriyf. Kelas II Matan Binaa’, kelas III dan IV Kailaany, kelas V,VI dan VII Jaami’ Al-Lughah Al-Arabiyah jilid II. Untuk balaaghah dipakai Jawaahiru ‘l-Balaaghah dari Mesir. Qur’an. Untuk Tajwiyd dipergunakan Hidayaatu ‘l-Mustafiid. Untuk tafsir dipakai Tafsiir Jalaalain.
Hadist. Untuk kelas II dan III Matan Arba’iyn, kelas IV s/d VIIFathu ‘l-Mubdy. Untuk Mushthalah Hadist kelas IV dan V dipakaiMinhatu ‘l-Mughits, sedang untuk kelas VI dan VII dipakai Syarhu ‘d-Diybaaj.
Tauhid. Untuk kelas II dan III Matan Sanusy, kelas IV Kifaaya tu ‘l-‘Awwaam dan kelas V s/d VII Al-Hushuunu ‘l-Hamiidiyah. Tashauf. Untuk ini di pakai Maraaqy Al-‘Ubuudiyah. Fiqah (Fiqih). Untuk kelas I Safiianatu ‘n-Najaa, kelas II Matan Taqriib, kelas III Fathu ‘l-Qariib, kelas IV dan V Fathu ‘l-Mu’iin, kelas VI dan VII Tahriir.
Usnuul Fiqih. Untuk V Al-Bayan III karangan Abd.Hamid Hakim Padang, kelas VI dan VII Uswatu ‘l-Fiqih karangan Muhammad Al –Khudlary Bek Mesir.Ilmu Akhlaq. Untuk ini dipakai Taisiiru ‘l-Akhlaaq.
Tarikh Islam. Untuk ini dipakai karangan Muhyidin Al-Khaiyath dari Mesir.
Ilmu Tarbiyah ( Pendidikan ) dipakai karangan Mahmud Yunus.
Ilmu Manthiq, dipakai Iidlaahu ‘l-Mubham.
‘Ilmu ‘n-Nafsi ( Ilmu Jiwa ), juga karangan Mahmud Yunus.
‘Ilmu Jughraafy ( Ilmu Bumi ), Untuk Ilmu Bumi Indonesia dipakai karangan Mahmud Yunus dan untuk Ilmu Bumi Umum dipakai karangan orang Mesir.
‘Ilmu’l_Hisaab ( Berhitung ), dipakai karangan dari Mesir.
Sementara bahasa Indonesia dipakai karangan Adi Negoro.
GEDUNG PERMANEN.
Melihat pesatnya maju Madrasah Al-Muslim, sehingga para pelajarnya tidak hanya. datang dari Aceh Utara saja, maka semangat pengurus Al-Muslim semakin bertambah dan diputuskanlah untuk segera dibangun gedung permanen sedangkan lokasinya ditetapkan didekat Teungku Di Glee, jalan ke Uteuen Gathom, atas tanah yang di wakafkan oleh Ampon Chik khusus untuk mendirikan Madrasah Al-Muslim.
Untuk mencari bentuk yang baik dari gedung yang akan di bangun itu, diputuskan untuk mengirimkan satu team ke Sumatra Barat guna membanding-bandungkan antara gedung-gedung yang sudah ada disana Tim tersebut terdiri dari tiga orang, yaitu Tgk.Abd Rahman Meunasah Meucap sendiri sebagai ketua. Tgk. Umar Gampong Raya sebagai tenaga ahli dan yang akan melaksanakan pembangunannya nanti dan Haji Mustafa Salim, pimpinan Madrasah “Islamiyah” Bireuen yang berasal dari Sumatra Barat, sebagai penunjuk jalan.
Pada suatu hari yang telah ditentukan, dengan diantar oleh para pengajar dan para pelajar Al-Muslim team tersebut berangkat dari Matangglumpangdua, dengan menumpang kereta api menuju Kutaraja ( sekarang Banda Aceh ) untuk selanjutnya naik kapal laut dari Ulee Lheue menuju Emma Haven ( Teluk Bayur ) sekarang di Padang.
Sepulang team tersebut dari Sumatra Barat, diadakan rapat dan ditentukan gambar yang dipilih. Sesuai dengan hasil rapat tersebut, maka pada tanggal 10 Muharram 1350 H. bertepatan dengan tanggal 28 Mai 1931, dilansungkan acara peletakan batu pertama gedung Madrasah Al-Muslim yang p
ermanent di jalan Tgk.Abd.Rahman sekarang, oleh Pocut Ramlah, putri tertua dari Ampon Chik Peusangan, sedang pelaksanaan pembangunannya adalah Tgk.Umar Gampong Raya.
Beliau adalah seorang autodidak, tidak pernah sekolah tetapi bakat tehniknya cukup menonjol, mulai dengan memperbaiki jam, membuat pabric genteng, membangun gedung-gedung, termasuk gedung Al-Muslim, pasar kamis sekarang dan lain-lain.
Rencana semula hanya terdiri dari tujuh ruang untuk tempat belajar dan satu ruang Dewan Guru yang merupakan “UleeGajah” tetapi kemudian “ UleeGajah” tidak jadi dibuat, diganti empat ruang bertingkat di kedua ujung sebelah belakang seperti yang terlihat sekarang.Di belakang dilengkapi dengan 2 buah asrama,mushalla dan WC.
Sebelah selatan gedung induk, dibangun beberapa rumah untuk para Guru dan Pengurus Al-Muslim. Karena rumah itu sifatnya darurat, maka pada masa peristiwa Aceh, tidak dapat dipakai lagi.
Berdirinya Cabang-cabang.
Sesuai dengan tujuan Jam’iyah Al-Muslim, maka pengurusnya selain dari pengelola Madrasah Al-Muslim, juga aktif mengadakan rapat-rapat umum untuk memberikan penerangan agama kepada masyarakat.Dalam rapat-rapat umum itu selaian dari amar makruf nahi mungkar, juga di anjurkan supaya ditempat-tempat tertentu didirikan cabang Madrasah Al-Muslim.
Anjuran ini mendapat sambutan yang menggembirakan, sehingga dimana-mana berdiri cabang Madrasah Al-Muslim, seperti di Bale Seutui, di Cot Meurak ( Bireuen ), di Cot Batee, di Leung Daneun, di Krueng Baro, di Uteuen Gathom, di Bugak, di Leubue dan di Blang Bladeh. Pembukaan cabang-cabang ini sangat diperlukan, karena selain dari pemerataan, juga karena Madrasah Al-Muslim induk sendiri di Matangglumpang Dua, sudah tidak dapat lagi menampung pelajar yang berdatangan tidak hanya dari seluruh Aceh, melainnkan juga dari seluruh Sumatera, bahkan ada yang datang dari luar negeri, yaitu dari Malaysia yang pada waktu itu disebut Malaya.
Lulusan
Oleh karena angkatan pertama mulai belajar pada bulan April 1930, sedang kenaikan kelas disesuaikan dengan ketentuan pemerintah, yaitu bulan Agustus, maka pada bulan Juli tahun itu juga diadakan ujian kenaikan kelas di samping dilakukan penerimaan pelajar baru. Jadi mereka hanya belajar selama empat bulan.
Hal ini dilaksanakan, mengingat bahwa pelajar-pelajar angkatan pertama itu sudah besar-besar, karena mereka sudah menamatkan Vervolggschool ( sekolah sambungan ) yang lama belajarnya dua atau tiga tahun sesudah Volksscchool tiga tahun atau mereka sudah menamatkan Inlandsche School yang lam belajarnya lima tahun, di samping mereka juga menamatkan belajar Al-Qur-an.
Oleh karena itu pelajar angkatan pertama, sesudah belajar selam enam tahun empat bulan, sudah dapat menamatkan pelajaran mereka di Madrasah Al-Muslim Peusangan yang lama belajarnya tujuh tahun.
Meskipun demikian, karena ujiannya dahulu sangat berat, baik lisan maupun tulisan, maka dari sekian banyak muridnya yang dapat lulus hanya empat orang saja dengan urutan-urutan nomor lulusnya sbb :
Nomor 1 : Ibrahi Kenawat, Takengon Aceh Tengah, ( sekarang terkenal dengan panggilan Ibrahim Mantek).
Nomor 2 : ‘Izzuddin Ali, dari Peusangan sendiri.
Nomor 3 : M. Asyik Ujong Blang, Bireuen, Kecamatan Jeumpa.
Nomor 4 : M. Ali Sulaiman Cot Buket, Kecamatan Peusangan.
Keluaran hasil pertama ini terjadi pada bulan Juli 1936
Pada tahun berikutnya yaitu pada bulan Juli 1937 keluar angkatan kedua sejumlah 8 orang yang lulus ujian yang juga cukup berat. Meskipun 8 orang, namun nomornya 7, karena nomor 1 dua orang.
Nomor 1 : yaitu Mahyiddin Yusuf dan Ismail Muhammad Syah
( Dr. H. Ismail Muhammad Syah, SH atau ISMUHA )
Nomor 2 : Sulaiman Mahmud Pulo Kiton Bireuen ( sekarang Drs. Sulaiman Mahmud, pensiunan Pegawai Tinggi Departemen Dalam Negeri )
Nomor 3 : Mustadla Hasballah Lueng Daneun.
Nomor 4 : Yahya Hanafiah Jangka ( almarhum )
Nomor 5 : M. Rasyid Pase Teupin Punti.
Nomor 6 : M. Yusuf Takengon dan
Nomor 7 : Ahmad Krueng Panjo ( almarhum )
Pada tahun itu Al-Muslim mempunyai kemampuan untuk mengirimkan seorang alumnusnya untuk melanjutkan pelajaran ke Sumatera Barat. Pilihan jatuh kepada Mahyiddin Yusuf. Sedang Sulaiman Mahmud dan Mustafa berangkat dengan biaya sendiri yang disertai juga oleh M. Ali Balwy yang pada tahun itu dia naik kelas tujuh.
Ismail Muhammad Syah dan Yahya Manafiak yang tidak sanggup berangkat dengan biaya sendiri, ditugaskan untuk menjadi Guru kelas I. Tetapi Ismail Muhammad Syah hanya bersedia mengajar setahun saja. Kemudian melanjudkan juga dengan cara sendiri.
Di Kutablang Samalanga ada sebuah Madrasah bernama Madrasah Al-Ishlahdibawah pimpinan Tgk. H. Hasan ( almarhum ) yang pernah belajar di Mekkah dan Langkat. Caranya berbeda dengan Al-Muslim. Kalau Al-Muslim terdiri dari tujuh kelas dan belajarnya pagi semua, maka Al-Ishlah masa belajarnya 8 tahun, sore 4 tahun dan pagi 4 tahun, sesudah lulus kelas 4 sore, baru masuk kelas 1 pagi.
Pada tahun 1937 juga sudah menghasilkan abituren pertama yang hampir semua di angkat menjadi guru untuk kelas-kelas bahagian sore. Ada seorang di antara mereka yang mampu melanjutkan juga pelajaran ke Sumatera Barat, yaitu M. Daud Lampoh Rayeuk ( Peusangan )
Ia bersama-sama dengan rombongan Al-Muslim. Atas usul mereka yang tidak berangkat ke Sumatera Barat, maka pada akhir tahun 1938, di Madrasah Al-Ishlah Kutablang Samalanga dibukalah satu kelas tambahan yang khusus untuk memperdalam ilmu agama Kelas ini disebut lima pagi.
Mendengar itu Ismail Muhammad Syah pada tanggal 27 Desember 1938 berangkat ke Samalanga untuk memasuki kelas tambahan itu untuk menambah lagi pengetahuan agamanya.
Bersama dengan Ismail Muhammad Syah, berangkat pula dua pelajar Al-Muslim lainnya yang belum selesai belajar di Al-Muslim, yaitu Abd.Majid Cot Keuranji yang baru naik kelas 7 Al-Muslim. Oleh karena itu di tempatkan di kelas IV pagi Al-Ishlah. Seorang lagi adalah Ahmad Paya Meuneng yang masih kelas lima di Al-Muslim, maka di Al-Ishlah di tempatkan di kelas III pagi.
Pada tahun 1938 keluarlah angkatan ke tiga, saya tidak ingat lagi berapa orang lulus ujian, tetapi saya ingat betul bahwa yang menjadi pemuncak angkatan ke tiga adalah Ismail Thalib Krueng Mane. Angkatan ke empat adalah Ismail juga yaitu Ismail Fakhry dari Meulaboh Aceh Barat.
Oleh karena itu orang – orang di Matangglumpang Dua ada yang membicarakan bahwa pemuncak angkatan pertama adalah Ibrahim, angkatan kedua, ketiga dan angkatan keempat adalah anaknya Ismail. Mereka ingat kepada nabi dan anaknya Ismail. Saya membantah karena dengan mengatakan, mengapa yang hanya disebut hanya Ismail, sedang pada angkatan kedau selain Ismail ada Mahyiddin yang menjadi pemuncak, bersama Ismail Muhammad Syah.
Di antara angkatan kelima yang saya ingat adalah M.Ali Muhammad (sekarang Drs. M.Ali Muhammad, Ketua jurusan Tafsir/Hadist pada Fakultas Syari`ah IAIN Jami`ah Ar-Raniry ).
Diantar pemuncak- pemuncak itu Ismail terus belajar sejak dibuka Normaal Islam Istintut di Bireuen pada tanggal 27 Desember 1939, ia masuk menjadi salah seorang dari 57 orang pelajar angkatan pertama Normaal Islam itu.
M.Ali Muhammad menyusul sebagai salah seorang pelajar angkatan kedua Normal Islam bersama-sama dengan Ibrahim Husein,lulusan Madrasah sa`adah Abadiyah Blang Pase, Sigli. Baik Ismail Muhammad Syah, maupun M.Ali Muhammad, sambil belajar di pagi hari di Normaal Islam, sore hari mengajar di Juli. Kalau Ismail Muhammad Syah di Madrasah Al-Ikhlas di Keude Dua, maka M.Ali Muhammad di Keude Trieng.
Sesudah lulus ujian akhir di Normaal Islam Instintut ( yang pada zaman Jepang di ubah namanya menjadi Perguruan Normaal Islam ) pada tanggal 15 Agustus 1943, Ismail Muhammad Syah mendapat panggilan dari Atjeh Syu-Sihobutyo ( kepala Kehakiman Daerah Aceh ) lewat Tgk.Abd.Rahman Meunasah Meucap, untuk memasuki kursus kehakiman di Kutaraja ( sekarang Banda Aceh ). Demikianlah maka pada tanggal 5 Desember 1943 Ismail Muhammad Syah berangkat ke Kutaraja dan pada tanggal 6 Desember melapor kepada Atjeh Syu Sihobu,E. Aoki.
Sesudah menyerahkan riwayat hidup, terus di keluarkan beslit sebagai pegawai
terhitung sejak 6 Desember 1943 dengan tugas : pagi belajar pengetahuan Hukum dan bahasa Jepang dan sorenya bekerja di kantor. Perlu di ingat bahwa jam kantor waktu Jepang adalah jam 8 pagi sampai jam 12 siang, kemudian istirahat dan jam 2 sore masuk lagi sampai jam empat sore.
Sesudah enam bulan belajar, Atjeh Syu Sihobiyu memberi tugas belajar ke Bukit Tinggi selam 10 bulan. Sepulang dari san di tugas kan pada Kutaraja Tihoo Hooin ( Pengadilan Negeri Kutaraja ) yang mengurus pengadilan negeri seluruh Aceh sebagai leburan dari Atjeh Syu Sihobu.
Sesudah zaman merdeka, Ismail Muhammad Syah terpilih menjadi salah satu utusan Aceh untuk menghadiri Kongres Muslim Indonesia yang di adakan di Yokyakarta. Kesempatan ini dipergunakan untuk dapat belajar lagi dengan jalan lebih dahulu berusaha pindah ke Yokyakarta. Usaha itu berhasil dengan dipindahkannya dari Pengadilan Negeri Kutaraja ke Departemen Kehakiman RI di Yogya terhitung sejak tanggal 1 Januari 1950 dengan demikian ia dapat memasuki Fakultas UII di Yokyakarta.
Kemudian sesudah di buka PTAIN ( Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri ) yang sekarang menjadi IAIN, ia merangkap kuliah disamping bekerja pada Pengadilan Negeri Yokyakarta. Sesuai dengan belajar sambil kerja maka pada tahun 1956, Lulus Sarjana Muda Fakultas Hukum dan pada tahun 1961 lulus sebagai Sarjana Lengkap PTAIN/IAIN Fakultas Syariah. Karena Ismail Muhammad Syah sering menulis dalam majalah dan surat-surat kabar dengan nama samaran Ismuha, maka kemudian lebih terkenal dengan panggilan Ismuha.
Kemudian sejak tanggal 13 Desember 1962, Drs. Ismuha di angkat oleh Menteri Agama Saifuddin Zuhri menjadi Dekan Fakultas Syari`ah Darussalam Banda Aceh sebagai cabang IAIN Yokyakarta dan pada tahun 1965 di angkat menjadi Rektor IAIN Jami’ah Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh selama dua kali masa jabatan sampai tahun 1972.
Meskipun sudah pernah menjadi rektor, tetapi tetap belajar, sehingga pada tahun 1978 berhasil mencapai gelar SH (Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Syiahkuala di Darussalam Banda Aceh. Kemudian pada tahun 1979 sampai tahun 1981 diangkat oleh Menteri Agama Alamsyah Ratuperwiranegara menjadi Pjs Rektor IAIN Sumatera di Medan, pada tanggal 1 September 1984 berhasil meraih gelar Dr (Doktor) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan.
Semua itu bertitik tolak dari modal pertama Madrasah Al-MuslimPuesangan ini. Oleh karena itu, Dr. H. ISMUHA, SH waktu mengucap terima kasih dalam disertainya, di mulai dari nama Tgk. Abdurrahman Muenasah Muecap, pendiri Al-Muslim ini.
M. Ali Muhammad juga tidak kalah semangat belajarnya. Sesudah lulus dari perguruan Normal Islam pada tahun 1944, ia mengajar pada Madrasah Al-Muslim selama 4 tahun. Kemudian pada tahun 1948 dengan membawa serta beberapa orang pelajar Al-Muslim, di antaranya M. Nur Nikmat, berangkat ke Malaya untuk menuju ke Mesir. Tetapi karena menemui kesulitan di Malaya (sekarang Malaysia), terpaksa mereka di sana berpisah.
Abdul Karim tinggal di Penang dan kawin di sana, M. Ali Muhammad berangkat ke Singapore, M. Nur Nikmat dan beberapa lain pulang ke Indonesia.Dari Singapore Ali Muhammad beralih haluan ke Jawa, sehingga dia naik perahu yang mau ke Jawa. Tetapi musibah topan membawanya hanyut ke suatu pulau kecil dan akhirnya kembali lagi ke Singapore. Hal itu diceritakan dalam suratnya kepada Ismail Muhammad Syah di Kutaraja.
Sesudah Ismail Mahammad Syah berhasil pindah ke Yogya, maka ia menulis sebuah kartu pos ke Singapore. Karena alamat Ali Muhammad di sana berpindah-pindah, maka kartu pos di alamatkan kepada alamat Sayid Ahmad Dahlan, Radio, Singapore, memberitahukan bahwa Ismail Muhammad Syah sudah pindah ke Yogyakarta. Rupanya kartu pos tersebut sampai kepada Ali Muhammad.
Lalu ia membalas dengan memberitahukan rencananya akan berangkat ke Peking dengan biaya O.A. Usman Adamy, salah seorang saudagar Aceh yang terkemuka pada masa itu. Membaca rencana itu, Ismail Muhammad Syah segera membalas dan memberi pendapat yang lebih baik tidak usah di laksanakan rencana itu dan sebaiknya pulang ke Aceh, Karena ia sebelum berangkat sudah berkeluarga.
Jangan lah keluarga di tinggalkan begitu lama. Saran itu hanya di terima sebagian, yaitu tidak jadi ke Peking, melainkan ia melanjutkan perjalanan ke Yogya ke tempat Ismail Mahammad Syah, sambil bekerja di jawatan Penerangan Agama, Ali Muhammad masuk SMA YUB sore harinya. Karena Jawatan Penerangan Agama pindah ke Jakarta dan meninggalkan SMA YUB dan memasuki , UID (Universitas Islam Djakarta).
Kemudian dia pindah ke Kutaraja dan keeutulan di sana di buka Fakultas Syari’ah pada tanggal 2 september 1960, maka mencatatkan diri sebagai Mahasiswa No. daftar 1 pada tahun 1966 ia lulus bersama dua orang lainnya, sebagai lulusan pertama IAIN Jami’ah Ar-Raniry. Pernah satu kali menjadi dekan Fakultas syari’ah menggantikan pak Ismuha yang ditugaskan menjadi Pjs Rektor IAIN Sumatera Utara pada tahun 1979.
Almuslim Sebagai Bidan Dan Rumah Bersalin Pusa
Tgk. Abd. Rahman Meunasah Muecap (Ketua Jami’ah Al-Muslim), Tgk. Usman Aziz (Salah seorang guru Madrasah Al-Muslim) dan Tgk. Ismail Yakob (almarhum), merupakan team bidan yang menangani kelahiran PUSA (Persatuan Ulama seluruh Aceh) di halaman gedung permanen Madrasah Al-Muslim dalam suatu Musyawarah besar ulama seluruh Aceh yang berlangsung pada tanggal 12-14 Rabi’ul Auwwal 1358 bertepatan pada tanggal 5-7 mei 1939. Musyawarah tersebut melaporkan sebuah organisasi ulama yang diberi nama PUSA dengan susuna pegurus sbb:
Bachermheer (pelindung) :T. Haji Chik Muhammad Johan Alamsyah (Zelfbestuurdervan Peusangan), mengingat jasanya berupa jaminan tidak akan terjadi apa-apa, untuk mendapatkan izin musyawarah Ulama seluruh Aceh tersebut.
Hoofdbestuur (Pengurus Besar) :
Ketua I :Tkg. M. Daud Beurue-eh.
Ketua II :Tgk. Abd. Rahman Muenasah Muecap.
Sekertaris I :Tgk. M. Nur Al-Ibrahimy.
Sekertaris II :Tgk. Ismail Yakub.
Bendahara :T.M. Amin (almarhum)
Komisaris :Beberapa orang, di antaranya Tgk. Usman Aziz, Tkg. Abd. Wahab Suelimum, Tgk. Syekh H.Abd. Hamid Samalanga, Tgk. Usman Lampoh Awe, Tgk. Yahya Baden Puedada, Tgk Mahmud Simpang Ulim, Tgk. H.Mustafa Ali, Tgk. M.Daud Langsa dan Tgk. Ahmad Damanhuri Takengon. (Lihat Sinar Darussalam No.14/1969).
Madrasah Al-Muslim Bagian Puteri
Di samping pelajar-pelajar putra yang belajar pagi hari, maka diadakan pula pelajaran bagian putri yang belajar sore hari. Tetapi ini hanya sampai kelas IV sedangkan kalau sudah duduk kelas V, digabungkan dengan bagian putra pagi hari, karena pada waktu itu sukar mencari guru Wanita untuk kelas V ke atas. Di antara guru-guru bagian putri ialah Tgk. Shafiah Harun. Yang sekarang lebih di kenal sebagai Mi Shafiah, istri Tgk. Izzuddin Ali yang juga menjadi guru bagian putra kemudian di buka pula cabang ruang seperti yang lebih di sebutkan sebelum ini.
Koperasi dan boekhendel Al-Muslim
Seiring dengan berdirinya Madrasah Al-Muslim Peusangan, Jami’ah Al-Muslim juga mendirikan Koperasi Al-Muslim dalam bidang warung nasi sekaligus dengan warung kopi, dengan tempat di “Keude Tuha” sebelah utara rel kereta api,bersebelahan dengan warung nasi Teungku. Nekmat (orang tua M. Nur Nekmat). Pelaksananya adalah Tgk. Puteh, yang kemudian terkenal dengan Tgk. Puteh Koperasi.
Sesudah Madrasah Al-Muslim menempati gedung baru dan guru bertambah seorang lagi, yaitu Tgk . Usman Aziz, maka atas gagasan dan bimbingan beliau di buka pula sebuah usaha lain di bidang lain pula. Usaha ini dinamakan “Boekhandel Al-Muslim”.
Selain dari melayani buku-buku yang di perlukan sekolah, juga menyediakan alat-alat kepanduan untuk para pandu yang bernama KAMUS (Kassyafatul Al-Muslim) yang pada saat itu sangat pesat kemajuannya.
Boekhandel ini dilaksanakan oleh salah seorang pelajar Al-Muslim sendiri M.Husin yang lebih dikenal dengan Husin, di bawah bimbingan Tgk Usman Aziz. Tempatnya mula-mula di toko kecil di “Kuede Baru”, sebelah selatan rel kereta api.
Tetapi kemudian mendapatkan yang lebih baik, yaitu di sebelah koperasi Al-Muslim bidang warung nasi dan kopi, sehingga kedua usaha ini cukup ramai. Malahan Boekhandel i
ni sudah menjadi tempat berkumpul tidak resmi para pengurus dan para guru Madrasah Al-Muslim di luar jam dinas.
Waktu Bapak Ismail Muhammad Syah pada akhir November 1943 malam-malam pulang dari Juli bersama-sama dengan Bapak M. Ali Muhammad untuk memenuhi panggilan Tgk. Meunasah Meucap yang baru pulang dari Kutaraja (Banda Aceh), juga di Boekhandel Al-Muslim itu menemui beliau yang sedang berkumpul dengan hampIr semua tokoh-tokoh Peusangan yang terdiri dari guru-guru Al-Muslim dan lain-lain.
Di Boekhandel itulah Tgk. Abd. Rahman Meunasah Meucap menyampaikan berita gembira bahwa Pak Ismail Muhammad Syah di panggil ke Kutaraja untuk memasuki sekolah kehakiman yang diadakan oleh Atjeh Syu Sihoobutyo, E. Aoki, sesudah tiga bulan menyelesaikan pelajarannya di Normal Islam Institut PUSA di Bireuen.
Pada waktu itu yang mengelola Boekhandel adalah Tgk. Abd. Daud menggantikan Nek Husin yang telah menyelesaikan pelajarannya di Madrasah Al-Muslim dan pulang ke Lhoksukon. Sebagai juga Tgk. Puteh di lekatkan namanya menjadi Tgk. Puteh Koperasi, maka demikianlah pula Abdullah menjadi Tgk. Abdullah Boekhandel, waktu musibah terbakarnya satu baris “Keude Tuha” bersama pasarnya tahun 1952, maka baik koperasi maupun Boekhandel Al-Muslim turut menjadi abu.
Lambang Al-Muslim
Sebagai mana biasanya tiap organisasi mempunyai lembaga, maka demikian pula Al-Muslim mempunyai lembaga yang di pakai, baik merupakan bendera, pada peci pelajar, olah raga, kepanduan, maupun pada gedung Al-Muslim sendiri yang dicor tiap pintu.
Bentuk Lambang
Lambang Al-Muslim bentuknya segi lima berpancaran sinar matahari, kubah terbalik, dalam arti bentuk persai, kecuali yang dicor di atas pintu, maka semunya bertulisan Arab yang berbunyi Madrasah Al-Muslim Peusangan.
Arti Lembaga
Warna kuning emas pada pinggir 3 mm, berarti keagungan Allah SWT
Merah darah bentuk matahari, berarti gagah berani.
Tulisan Arab putih, berarti suci
Merah kuning sinar matahari, berarti Qur’an dan Hadits (ahlussunnah-wal jama’ah)
Warna dasar biru muda, berarti tentram,damai dan bersatu.
Lima pancaran sinar matahari, berarti Islam di tegakkan atas lima rukun.
Kesimpulannya, dengan kesucian dan keikhlasan, berani menegakkan Agama Allah berdasarkan Qur’an dan Hadits, menuju masyarakat Peusangan yang cerdas, bersatu, aman dan tenteram di ikat oleh ukhuwah islamiyah yang abadi.
Regu nasyid/Nyanyi
Untuk  menyemarakkan tabligh-tabligh yang sering dilakukan oleh pengurus Al-Muslim,di bentuk pula regu nasyid/nyanyi. Dalam berdakwah Landschap Peusangan, atas usul Tgk. Abd. Rahman Meunasah Meucap pernah satu kali pada hari-hari raya Puasa, hari kedua, rombongan nasyid/nyanyi Al-Muslim di bawah pimpinan Tgk. Abd. Rahman Meunasah Meucap,berziarah ke tempat kediaman Nek Ben Guerugok.
Dalam kesempatan itu regu nasyid/nyanyi Al-Muslim memperlihatkan kebolehannya. Anggota-anggota nasyid/nyanyi itu di pilih diantara pelajar yang bagus suaranya. Isi nyanyian sengaja disusun demikian rupa, sehingga membangkitkan semangat para pendengar untuk bergerak mengayunkan langkah ke arah kemajuan agama dan bangsa.
Rupanya ziarah ini sangat berhasil, ternyata dalam waktu yang singkat, Nek Ben Guerugok, memerintahkan untuk mendirikan sekolah agama yang di beri nama Darul Uluum yang sampai sekarang masih dapat di lihat di kota Guerugok, Ibukota Kecamatan Gandapura.
Regu nasyid/nyanyi yang paling unggul ialah regu cabang Bale Seutui, karena pimpinanya Tgk. Syeh Hamzah alias Tgk. Peusangan pandai sekali menyusun lagu di samping keahliannya berpidato dan ada pula seorang kepala regu yang sangat berbakat yang benama M. Jamil Kareing. Anggota-anggota regu Bale Suetui, memakai, gal Arab Saudy, sehingga tambah menarik. Di antara anggota Bale Suetui adalah seorang putera Tgk. Syeh Peusangan sendiri, M. Daud Hamzah.
Al-Muslim pada zaman Jepang
Pada tanggal 7 maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda yang di kepalai oleh Tjarda sebagai Gubernur Jendral, telah menyerah kepada Jepang di Jawa. Tapi Jepang baru masuk ke Aceh pada tgl 12 Maret 1942 dari dua tempat, yaitu di Ujoeng Batee (Aceh Besar) dan Kuala Bugak (Aceh Timur).
Tentara Jepang yang mendarat di Ujoeng Batee, baru tiba di Bireuen tanggal 13 Maret dan besoknya tanggal 14 Maret baru berangkat, sehingga sebahagian ke Takengon dan sebahagian ke arah Timur, melalui Matanggulumpang Dua, ibukota negeri Peusangan.
Jepang mengetahui pemerintahan di Indonesia sesuai dengan zaman perang lebih-lebih lagi pada waktu itu Jepang sedang menghadapi musuh yang sangat kuat terdiri dari berbagi bangsa yang bergabung dalam melawan Jepang yang hanya mempunyai dua bangsa, sebagai kawan, yaitu Jerman dan Itali, sedang selebihnya kecuali beberapa negara kecil yang netral, adalah bergabung menjadi sekutu untuk melawan tiga bangsa tersebut.
Sekutu terdiri dari lima negara besar, yaitu : Amerika Serikat, Uni Sovyet, Inggris, Perancis dan Cina Nasionalis, ditambah dengan sejumlah negara-negara kecil, termasuk Belanda.
Sudah lumrah pada zaman perang, apalagi perang dunia, segala sesuatu itu macet, terutama bidang pendidikan kecuali pendidikan kemiliteran dan olahraga. Tenaga semua di kerahkan untuk persiapan melawan musuh dalam hal ini tidak kecuali Madrasah Al-Muslim Peusangan.
Waktu lebih banyak di gunakan untuk gotong-royong dari pada belajar. Jam’iah. Al-Muslim pun turut terbengkalai, sehingga kekayaannya sukar diurus sebagaimana biasa. Persatuan yang terpadu, kini menjadi porak-poranda, karena situasi perang menimbulkan rasa curiga antara satu golongan dan golongan yang lain. Hal semacam ini tentu tidak menguntungkan sama samasekali.
Al-Muslim Sesudah Proklamasi
Sebagai akibat dijatuhkan bom atom oleh pihak sekutu di negeri Jepang sendiri, yaitu dikota Hiroshima dan Nagasaki, yang mengakibatkan kehancuran yang tidak ada taranya. Maka Jepang pada tanggal 14 Agustus 1945 menyerah kalah kepada sekutu.
Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh bangsa Indonesia untuk bergerak melepaskan diri dari semua penjajah.Demikianlah pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta Sukarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia kepada seluruh dunia.
Tapi karena pemerintahan pada masa Jepang, Sumatera dan Jawa terpisah, masing-masing takluk langsung ke Saigon.Maka berita Proklamasi Indonesia itu lambat sampai ke Sumatera terutama ke Aceh.
Aceh secara resmi baru mengetahui berita kemerdekaan itu pada bulan September 1945, meskipun tentunya ada perseorangan yang sudah mengetahui sebelumnya, tapi tidak berani bicara karena Jepang dalam kenyataan masih berkuasa.
Proklamasi 17 Agustus 1945 mempunyai konsekwensi yang berat.Karena pemerintah Belanda masih ingin kembali menjajah Indonesia dan rupanya juga mendapat bantuan dari sekutu,terbukti Belanda membonceng sekutu masuk Indonesia bahkan ke Aceh juga. Oleh karena itu, begitu berita proklamasi diterima di Aceh,
Semua rakyat siap sedia berlatih, menjaga pantai dan membentuk barisan perjuangan seperti Mujahiddin dan Pesindo. Dengan demikian, Al-Muslim belum sempat dikelola kembali sebagaiamna dahulu kala, meskipun tentunya sudah lebih baik dibandingkan dengan pada masa Jepang.
Untuk menambah senjata perjuangan, rakyat Peusangan melucuti tentara Jepang di Geulanggang Leubu,sehingga pertempuran Krueng Panjoe cukup dikenal,melawan tentara Jepang dari Aceh yang sudah berangkat ke Medan, diperintahkan kembali ke Aceh untuk mengambil senjata yang telah jatuh ke tangan rakyat.
Banyak tentara Jepang yang mati dalam pertempuran itu disamping sejumlah rakyat juga turut syahid. Disamping Mujahiddin dan Pesindo, juga dibentuk Tentara Pelajar Islam yang terdiri dari pelajar-pelajar S.R.I Bireuen dan pelajar-pelajar Al-Muslim kelas V ke atas. Gedung Al-Muslim sebagiannya dipakai untuk keperluan T.P.I tersebut.
Penegerian Madrasah Al-Muslim
Berbeda dengan pemerintah colonial yang tidak mau tahu mengenai sekolah agama, maka Pemerintah Republik Indonesia yang berfalsafah Pancasila selain dari sekolah umum, juga sekolah agama mendapat perhatian pemerintah.
Bahkan pada tanggal 1 November 1946, dengan satu surat penye
rahan resmi yang bernama Qanun penyerahan sekolah-sekolah agama kepada Pemerintah Daerah Aceh, hamper 180 buah madrasah diseluruh Aceh diserahkan kepada Pemerintah Aceh menjadi sekolah negeri dengan nama S.R.I.N( Sekolah Rendah Islam Negeri ) diantaranya masuklah Madrasah Al-Muslim Peusangan.
Sejak itu semua biayanya ditanggung oleh Pemerintah Daerah dan guru-gurunya menjadi pegawai negeri.Bagi satu segi, ini sangat menguntungkan karena selain dari para pengurus Al-Muslim sudah ringan bebannya, juga para guru sudah lebih terjamin gajinya.Hal tersebut berjalan dengan aman dan tenteram sampai penyerahan kedaulatan.
Hal ini disebabkan oleh karena Aceh dapat bertindak sendiri menurut yang dipandang baik, bahkan Pemerintah Daerah dapat membantu pemerintah Pusat seperti pembiayaan pejuang-pejuang kita di luar negeri.
Sejak penyerahan kedaulatan status S.R.I.N mulai goyah, bahkan sesudah negara kesatuan, beberapa kali Departemen Agama menyarankan kepada Kepala Pejabat Agama di Aceh supaya SRIN diserahkan saja kepada P dan K menjadi SR Negeri, karena di Jawa pada waktu itu tidak ada sekolah agama yang diurus oleh pemerintah.
Tetapi berkat perjuangan gigih maka pada tahun 1952 kedudukan SRIN menjadi kuat kembali, dengan keluarnya Penetapan Menteri Agama tanggal 24 Desember 1952 No. 43 yang didalamnya tercantum bahwa kurang lebih 200 SRI mendapat formasi dan biaya peralatan serta buku-buku pelajaran.
Kemudian lebih cerah lagi pada tahun 1959 dengan keluarnya Penetapan Menteri Agama No. 1 tahun 1959 sebagai dasar hukum tentang pengasuhan dan pemeliharaan SRI di Propinsi Aceh oleh Departemen Agama .Dalam surat penetapan itu dicantumkan nama-nama SRI di Aceh sejumlah 205 buah, diantaranya termasuk Madrasah Al-Muslim.Surat penetapan ini berlaku surut sampai bulan Januari 1952.
Para Ketua Jam’iah Al-Muslim
Sesudah Tgk. Abd. Rahman Meunasah Meucap meninggal dunia pada tanggal 24 Maret 1949, maka ketua Jam’iah Al-Muslim dipegang oleh Tgk. Ibrahim Meunasah Barat. Sesudah beliau meninggal di Mekkah dalam menunaikan ibadah haji, maka digantikan oleh Tgk. Abbas Bardan Jangka.
Sesudah beliau meninggal digantikan oleh Tgk. M. Abid Idham Pante Ara. Sesudah beliau sakit=sakit, digantikan oleh Tgk. H.M. Amin Bugak alias Tgk. Qadli, sampai beliau meninggal pada tahun 1978. Sejak itu digantikan MA Jangka (Camat Peusangan ).
Terbentuknya Yayasan Al-Muslim Peusangan
Generasi penerus Kecamatan Peusangan yang selalu mengikuti perkembangan Peusangan, melihat bahwa dengan diserahkan kepada Pemerintah Madrasah Al-Muslim, maka Jam’iah Al-Muslim yang sudah berjasa itu, hampirsaja lenyap, karena kegiatannya sudah tidak ada.
Sesudah diadakan pembicaraan mendalam, maka diputuskanlah bahwa Jam’iah Al-Muslim itu harus dihidupkan kembali, tetapi harus merupakan badan hukum sesuai dengan perkembangan zaman. Untuk menghadap notaris membuat akte ditunjuklah :
Said Umar Mahmud, Camat waktu itu sebagai pegawai yang diperbantukan pada daerah Swatantra Tk. I Aceh.
Alamsyah Abdullah, waktu itu pegawai Keuangan Daerah Swatantra Tk. I Aceh
Budiman Hasan, Guru Sekolah Guru Bawah ( SGB ) Negeri di Kutaraja .
Zainal Abidin Syah, pegawai Daerah Swatantra Tk. I Aceh
Tgk. H.M. Ali Balwy, Wakil ketua DPRD Swatantra Tk. I Aceh
Teuku Hasan, pegawai Dinas Perikanan Darat Daerah Swatantra Tk. I Aceh.
Untuk pertama kali diangkat sebagai pengurus Yayasan tersebut adalah :
M. Nur Nekmat, sebagai ketua
Ismail Hasan, sebagai wakil ketua
Said Umar Mahmud, sebagai Sekretaris
M. Hasan Ali, sebagai Wakil Sekretaris
Mohammadar, sebagai Bendahara
Alamsyah Abdullah
Budiman Hasan
Zainal Abidin Syah
Mukhtaruddin Hamzah
Encik Hawiyah
Ahmad Thahir, masing-masing sebagai anggota-anggota yayasan tersebut.
Selanjutnya dalam Akte Notaris No. 18 tanggal 18 Maret 1959 itu disebutkan juga Badan Pengawas Yayasan yang terdiri dari :
1. Tgk. H. M Ali Balwy, Ketua
2. Tgk. Hasan Ibrahim ( Asisten Wedana ), wakil ketua
3. Teuku Hasan, sekretaris
4. Tuan Muhammad Syah ( guru SRN Mat. GLP. Dua ), wakil sekretaris
5. Tgk. Mahyuddin Yusuf
6. Tgk. Zakaria Ahmad
7. Tuan Ismail Ibrahim, pembantu-pembantu
Mengenai tujuan yayasan dijelaskan dalam pasal 2, yaitu mengadakan pembanguna dalam lapangan pendidikan ruhani dan jasmani dalam arti kata seluas luasnya.
Dalam pasal 3 disebutkan bahwa untuk mencapai tujuan, yayasan mengadakan usaha-usaha antara lain :
Mendirikan nberbagai sekolah yang dibutuhkan oleh masyarakat, terutama di daerah Kecamatan Peusangan dan ditempa-tempat lain yang dirasa perlu.
Mendirikan asrama-asrama pelajar dan pesantren-pesantren.
Usaha-usaha lain yang berhubungan dengan pendidikan.
Oleh karena banyaknya pelajar-pelajar yang memasuki SRI, maka gedung yang sudah ada tidak dapat menampung semua peminat. Oleh karena itu pada kira-kira tahun 1960 dibangun lagi serbuah gedung sekolah yang mempunyai empat ruangan. Bahan-bahanya sebagian berasal dari simbangan O.K.S.I Matangglumpang Dua.
Setelah Al-Muslim Peusangan berdiri dalam kurun waktu cukup lama itu tentunya ada masa maju dan surutnya.
Setelah musyawarah besar Al-Muslim bulan novenber 1979 kelembagaan Yayasan Al-Muslim dan keorganisasiannya telah diperbaharui dengan akte Notaris Nomor : 13/Lsm/AU/1983, tanggal 11 Mei 1983 dan telah terdaftar di kepanitraan Pengadilan Negeri.
Perguruan Tinggi Al-Muslim
Yayasan Al-Muslim Peusangan yang telah cukup lama membina Madrasah Diniah, Tsanawiah, Aliyah, Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Pesantren Pertanian, Musyawarah setengah abad Al-Muslim Peusangan pada bulan November 1979 dan di perkuat pula secara kongkrit oleh program kerja Yayasan Al-Muslim Peusangan yang dihasilkan oleh Musyawarah kedua Yayasan Al-Muslim tanggal 18 Safar 1405 H. bertepatan dengan tanggal 12 Nopember 1984.
Maka Yayasan Al-Muslim penuh pertimbangan untuk menjaga kelangsungan historis dan prinsip-prinsip yang telah terkristalisir dari sejarahnya yang melebihi dari setengah abad dari lembaga pendidikan Al-Muslim, maka pada 14 hari Zulkaidah 1405 H. bertepatan dengan tanggal 1 hari bulan Agustus 1985 M. telah diresmikan Perguruan Tinggi Al-Muslim dengan Fakultas pertama yaitu Fakultas Tarbiyah yang jumlah mahasiswanya tahun pertama 241 orang dengan jurusan Pendidikan Agama (Sekarang Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Jurusan pendidikan Agama Islam).
Meningkat minat masyarakat yang begitu besar untuk perkembangan Perguruan Tinggi Al-Muslim, maka Yayasan Al-Muslim beserta Perguruan TIngginya setelah melihat kemampuan, minat lulusan SMTA, keadaan lingkungan dan kebutuhan tenaga terhadap kelanjutan Pembangunan Nasional.
Maka memutuskan pada tahun Akademik 1986/1987 membuka sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) dengan program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Tata Perkantoran, Bimbingan Konseling, Matematika dan Diploma III Biologi.
Pada tahun yang sama, tahun akademik 1986/1987 juga membuka Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIP) dengan jurusan Budi Daya Pertanian (BDP), Peternakan (PET) dan Sosial Ekonomi Pertanian (SEP).
Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang komputer serta tuntutan dari GBHN 1993 yang menekankan peningkatan sumber daya manusia untuk menghadapi PJPT II.
Maka pada tahun akademik 1993/1994 Perguruan Tinggi Al-Muslim membuka akademi Manajemen Informatika dan Komputer (AMIK) Al-Muslim program studi Manajemen Informatika dan Komputer dengan status terdaftar pada Mendikbud Nomor :136/D/0/1993.
2. TUJUAN PERGURUAN TINGGI Al-MUSLIM
Mengingat kapasitas dan daya tampung perguruan tinggi negeri sangat terbatas, sehingga tamatan SMTA yang berminat melanjutkan ke Pendidikan Tinggi tidak dapat tersalur sepenuhnya, yang pada gilirannya akan menimbulkan berbagai akibat yang negative.
Maka untuk itu Yayasan Al-Muslim Peusangan (Perguruan Tinggi Al-Muslim) disamping membantu usaha pemerintah di bidang pendidikan Tinggi, juga berusaha menerima siswa-siswi lulusan SMTA untuk dididik menjadi Sarjana yang berwawasan ilmu pengetahuan yang luas dan terpadu, terampil, dan bermoral tinggi, dalam
rangka terciptanya manusia Indonesia seutuhnya yang pancasilais seperti yang di gariskan dalam GBHN Republik Indonesia. [*]
[Sejarah ini bersumber dari Blog Agus Irwanto, SE Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Al-Muslim yang dikutip dari Buku Keputusan Majelis Permusyawaratan Al-Muslim tahun 1984]

Facebook
Twitter
WhatsApp
LinkedIn

Berita Terkait