Sejarah Perkembangan Lagu Aceh Terbaru

Lagu Aceh terbaru merupakan kata kunci paling mudah ditemui dipencarian google. Hanya dengan klik Aceh, anda lansung menemui hasil penelusuran tentang laku Aceh Baru atau laguu Aceh terbaru. Hal tersebut tidak terlepas dari perkembangan lagu Aceh yang kian mendunia juga tidak sedikit diminati.

Menurut catatat Zulfadlie Kawom menyatakan beberapa fakta mengenai kondisi perkembangan musik Aceh, serta sepak terjang musisi di Aceh, seperti yang ditulis dilaman website acehmusician.org, bahwa banyak jenis musik yang sekarang sedang berkembang di dunia, mulai musik yang bertemakan melankolis (sendu), ballad, blues, jazz, rock sampai musik cadas sekalipun seperti musik-musik Underground.

Nah Jenis musik ini juga telah mempengaruhi musik-musik yang ada di nanggroe Aceh sendiri. Kita bisa melihat akhir-akhir ini, bagaimana perkembangan musik Aceh yang maju dengan pesatnya. Hampir setiap bulan, bahkan minggunya bermunculan penyanyi dan group musik dan album baru dari seniman-seniman Aceh yang tak bisa di pungkiri bahwa musik apapun yang dibawakan oleh musisi musisi Aceh tersebut memiliki fans dan juga ciri khas tersendiri.

Musik Pop

Teuku Djohan dan beberapa musisi lainya yang seangkatan dengan beliau yang sering disebut sebagai bapak seniman Aceh yang banyak menciptakan lagu – lagu aceh yang terkenal bahkan sudah sangat kental dalam pendengaran kita seperti lagu Bungong Jeumpa, Bungong Seulanga, dll.

Perkembangan Musik Rock Aceh

Musik Rock juga sangat besar pengaruh di Aceh. Pada tahun 80-an sampai 90-an kita mengenal kelompok Band Mollusca yang dimotori oleh Iyan dkk, kelompok musik ini sering membawakan lagu -lagu ciptaan sendiri dan lagu -lagu Rock Metal dunia seperti Pantera, Sepultura, Metalica dan beberapa lagu lagu musisi rock dunia lainnya.

Metazone ,sebelumnya dikenal sebagai Band Dolog (Adek dan Aduen dari De Logas, Deddy dari Fak. Ekonomi Band, Bonan dari Galaxi, dan Pinem dari Mollusca-Red) kemudian berganti nama menjadi Black Power, merupakan saingan ketat Mollusca dalam kancah musik Rock di Aceh, dan juga memiliki ciri khas tersendiri dalam memainkan dunia musik Rock tersebut. Kelompok musik ini sangat terkenal dengan lagu Gadis Lugu Perawan Desa, lagu ini pernah menjadi hit di stasiun Televisi daerah. Metazone juga pernah menjadi Raja Music Sumatra dan ini terbukti saat mereka mendapatkan prestasi urutan ke 3 dalam pentas Festival Music Nasional Logg Zhelebour yang di adakan di Surabaya di tahun 94 yang lalu. Serta Drumernya yaitu Dedek Metazone meraih peredikat sebagai Drumer terbaik.

Aceh Rock Band (ARB), juga merupakan kelompok band besar di Aceh. Group Musik asal Kuala Simpang ini pernah juga mengikuti festival musik Nasional Log Zhelebour dengan membawakan lagu Rock Metal dengan judul “Manusia” dan menyabet juara favorit pada Festival Rock Versi Log Zhelebour VII dan lagu mereka direkam dalam Album Festival Rock Se-Indonesia VII Versi Log Zhelebour di Stadion Mandala Krida Djogjakarta pada tahun 1993. Group yang digawangi Dzakirov, Zakaria (Vocalis gaek asal Krueng Mane, Aceh Utara) ini juga tidak kalah menarik. Kemudian setelah perjanjian damai mereka merilis Album Aceh bertajuk “Si Gam Aneuk Meutuah”

Masih di Aceh Timur, Langsa juga punya segudang musisi rock salah satunya Plincore adalah salah satu dari sekian kelompok musik cadas yang pernah masuk dalam album METALIK KLIK II dengan membawakan lagu ciptaan mereka yang berjudul Sangkakala. Group yang dimotori oleh Pak Roy (vokalis) yang juga pegawai pemda Aceh Timur. Selain di Aceh, kelompok musik asal Langsa ini juga sangat terkenal di Sumatra Utara.

Selain itu masih banyak group-group Rock lain yang bertebaran diseluruh Aceh, diantara Roxxy dari Kuala Simpang, Sandys Band dari Lhokseumwe. Pada medio 90-an,pada tahun 2000-an, Group-group Rock Bermunculan bak jamur di musim hujan di Aceh, perkembagan sangat pesat, ada yang menjadi juara pada beberpa Festival Siblonk Sumatera Utara -Medan dan Festival Rock Djarum Super dan A Mild Production, sebut saja Natural Band, group Rock Asal Lhokseumawe yang beberapa kali menjuarai Festival Music Siblonk dan finalis Asian Beat Music Festival YAMAHA, yang sering diliput Media Sumut diantaranya WASPADA, dan sangat jarang diberitkan oleh media lokal. Kemudian Kaliber Lhokseumawe yang juga beberapa kali masuk final beberapa event Rock Setingkat Sumatera dan Nasional (Band UKM Seni dan Budaya Univ Malikussaleh), yang juga mempunyai beberapa lagu ciptaan sendiri.

Era Slow Rock

Tahun 90-an Slow Rock atau Classic Rock mewabah,yang pertama mengusung aliran musik ini adalah Chesby Kaum. Kita dapat lihat pada sampul kasetnya Bertajuk “Album Slow Rock Aceh Gaseeh lam Reugam”, bisa dikatakan Chesby Kaum-lah yang pertama-tama mengusung aliran music Slow Rock Aceh pertama di Nanggroe. Album yang di arransmen oleh Harry Anggoman; musisi yang kemudian bergabung dengan Group Musik Gong 2000 ini, juga ada Johanes Purba musisi asal Sumatera Utara yang turut mewarnai “Album Slow Aceh” Chesby Kaum. Chesby Kaum adalah musisi dan aktris yang lahir dari Meunasah Meugit Samalanga – Bireun saat ini bermukim di Malaysia, dia juga sempat mengeluarkan beberapa album Campuran seperti “Sumpah Yang Mameeh” dan terakhir “Peulagi Lam Pangkee”. Chesby juga mendirikan Kumpulan Musik Khatulistiwa, Band Cadas Asal Singapura yang berjudul “Langkahku” pada era Rock Kapak di Malaysia. Saat ini dia sedang mempersiapkan “Best of The Best Chesby Kaum” dan juga sedang mempersiapkan Album Berbahasa Melayu di Bandung, ketika dikonfirmasi bebrapa waktu lalu via HP (tulisan ini dibuat pada tanggal 22 Desember 2009 – Red).

Bob Rizal juga sempat mewarnai Slow Rock Aceh, hanya satu Album yaitu Karam Lam Dada. Musisi yang sudah almarhum pada tahun 2006 asal Lhokseumawe ini jug terkenal dan punya fans sendiri di semenanjung Malaysia dengan judul lagunya “Elegi Rinduku “ produksi EMI yang sempat hit dan di putar di beberapa Radio Malaysia, kemudian redup setelah kemunculan Amy Search dan Saleem IKLIM.

Era Kolaborasi Etnic dan Modern

Kelompok musik NYAWONG, yang sangat terkenal dengan album NYAWONG-nya. Album NYAWONG adalah album yang menceritakan tentang Heroisme perjuangan pahlawan-pahlawan Aceh dalam menghadapi penjajah manapun. Group yang digawangi oleh Almarhum Muklis dan Cut Aja merupakan Group pelopor Etnic yang berani meramu konsep musik tradisional aceh dan dengan alat music modern. Group iniu juga menjadi cikal bakal dan referensi bagi musisi music etnis lain di aceh, karena mereka tampil beda dan melawan tradisi musik keybord yang di sedang di usung penyanyi dan artis Restu Record pada masa itu. Sebuah Group yang di pelopori oleh Jauhari Samalanga ini hanya bisa melahirkan satu Album. Disini juga berkumpul musisi kelas atas aceh seperti Dedi Metazone dan Moritza Thaher (Momo).

Kemudian tak lama berselang beberapa tahun tampillah kelompok musik KANDE. Yang di gawangi Rafly dengan Album “Asai Nanggroe” dan juga menjadi inspirasi musisi muda lain di Nanggroe. Lagu Seulanga mereka sempat menghiasi layar kaca METRO TV sebagai lagu pengiring dalam acara liputan Indonesia Menangis yang menyiarkan berita – berita tentang keadaan aceh pasca tsunami beberapa waktu yang lalu.

Beberapa kelompok band terbaru yang a
khir akhir ini sangat terkenal dikalangan musisi aceh dan juga Sumatera utara seperti Vankreas Band dan Maggot band yang merupakan bagian terkecil dari sekian banyak band-band asal Aceh yang sampai saat ini masih tetap exist membawakan musik cadas yang menggabungkan antara musik Metal dengan Etnich Aceh. Lagu mereka berjudul Ampon.

Masih banyak lagi musisi musisi aceh misalnya Cupa Band, Bidjeeh Band, Liza Aulia, Seuramoe Reggae dan lain-lain yang mungkin (belum bisa) dibahas satu-satu namun keberadaan mereka telah menghiasi dunia musik aceh saat ini.

Musik Aceh tak akan pernah mati, apalagi setelah didera konfilk dan bencana tsunami, tentu akan banyak karya yang tercipta sesuai dengan kondisi yang dihadapi rakyat aceh dan seniman aceh sendiri. Mungkin inilah sedikit ungkapan bijak bagi seniman musik dan juga musisi diaceh. Kita dapat melihat akhir-akhir ini, banyak seniman – seniman aceh yang memainkan jenis musik modern, tetapi selalu memasukkan jenis alat musik khas Aceh sebagai pelengkap dari jenis musik yang mereka mainkan. Dan jenis musik ini biasanya di sebut Musik Etnic. Music Etnic ini tidak hanya di mainkan beriringan dengan musik rock atau metal, tetapi juga musi ini mampu masuk kedalam jenis musik dangdut, reggae, ballad dan juga music Disco sekalipun.

Lalu apa keunikan dari jenis music etnic ini. Keunikannya yaitu dimana musisi musisi Aceh mampu menggabungkan antara jenis musik dunia seperti Rock Metal, Disco, Reggae, Dangdut dan juga Slow Rock dengan music khas Aceh. Alat- alat musik khas Aceh dimainkan dan juga dipergunakan dalam membawakan jenis musik tersebut, sehingga menciptakan jenis musik yang lebih hidup dan lebih semarak di bandingkan dengan jenis musik aslinya.

Kalau kita mau melihat secara jeli dan mau kembali ke masa lalu, jenis musik Aceh aslinya dalah terdiri dari beberapa alat musik khas Acheh seperti : Rapai, Geundrang dan Seurunee Kale. Kalau mau dengar yang pure music dan voice Aceh bisa di kaset World Music Aceh – Joe Project (Jauhari Samalanga) yang dibawakan oleh Marzuki Hasan atau lebih dikenal dengan sebutan pak Uki.

Menurut Joe sendiri sebagaimana yang ditulis dalam opini berjudul Perjalanan Musik Aceh di laman acehmediart.com, menyatakan bahwa Untuk membicarakan musik Aceh lebih spesifik, memang cukup rumit lantaran untuk memulainya sangat sulit menentukan periode masa yang diingini. Musik di Aceh belum memiliki rumusan yang dapat dijadikan tolak ukur dalam perkembangan musik dunia, gara-gara Aceh tidak pernah mengkaji musiknya hingga tuntas. Yang ada adalah argumentasi yang terkadang tidak tepat untuk musik Aceh itu sendiri.

Jauhari Samalanga, Pemerhati sosial budaya dan Pekerja Musik Aceh, inisiator Lembaga Budaya Saman Dalam catatan kecilnya menulis, saya mengambarkan bahwa Aceh adalah daerah yang paling miskin dengan musik. Padahal, Aceh memiliki keragaman budaya yang kuat dan terbagi-bagi. Yang berpayung pada Aceh saja ada beberapa suku seperti ureueng Aceh (suku yang berdiam disebagaian besar kabupaten), Ureueng Gayo (berdiam di Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Timur), Ureueng Alaih (orang Alas yang berdiam di Aceh Tenggara),Ureueng Teumieng (Orang Tamiang yang tinggal di Aceh timur berbatasan dengan Sumatera Utara), Ureueng Singke (Singkil Hulu yang berdiam di Hulu sungai Singkel –Aceh Selatan), Ureueng Kluet (berdiam di daerah hulu kecamatan Kluet Kiabupaten Aceh Selatan), Ureueng Pulo (Orang Pulau yang berdiam dipulau Simeulue dan di Pulau Banyak) dan Aneuk Jamee yang berdian disebagian besar Aceh Selatan dan sebagian lagi di Aceh Barat.

Kekuatan seninya beragam. Suku Gayo misalnya, memiliki kesenian syaer yang luar biasa. Didaerah ini banyak didiami oleh seniman tradisi yang punya ciri khas, sehingga tidak heran apabila lagu-lagu yang lahir di daerah ini lebih banyak dari jumlah penduduknya. Sedangkan di Belahan barat dan Selatan Aceh tersembunyi banyak seni Zikir, dan semua itu berpayung kepada satu daerah bernama ‘Aceh”. Dari masing-masing keseniannya berbeda-beda, baik pada bit maupun muatan syair, tergantung pada kondisi alam daerah tersebut.

Seni seperti Rapa-i, Tari Seudati, Zikir dan hikayat adalah kesenian yang paling populer di pesisir Aceh, yang juga meliputi daerah kepulauan seperti Sabang. Sementara daerah seperti kepulauan Siemeulue lebih kepada Pantun dan Nandong, yaitu sebuah kesenian syair dan musik berupa biola. Untuk daerah Alas, Aceh Tenggara juga sama lebih kepada tari dan syair. Sedangkan Gayo, daerah pegunungan yang terkenal dengan seni Vocal bernama Didong.

Pada tari seudati yang menonjol adalah syair dan bebuyian dari tubuh seperti pukulan pada dada, ketrip jari, dan hentakan kaki. Sedangkan Didong Gayo merupakan kesenian tradisi yang cuma menggunakan vocal dan tepukan tangan dan bantal. Tetapi biasanya, baik Seudati, hikayat dan Didong kekuatannya terletak pada syair.

Jadi bisa disimpulkan bahwa alat musik Aceh yang ideal adalah Vocal (Voice), Percusi (Rebana, Gegedem, Rapa’i, Genderang Aceh), Alat Tiup (Seruling dan Serune Kale), Bantal, dan Musik tubuh (Ketrip Jari dan Pukulan Perut), sedangkan musik yang pernah berkembang di Aceh tahun 40-an seperti Gambus, Orkes, dan Qasidah merupakan pengaruh Islam yang luas, dan Aceh gagal menjadikan musik-musik itu berciri khas khusus, sehingga dia tergolong musik yang umum.

Sementara alat petik seperti gitar tidak ditemukan sebagai bagian alat musik yang lazim untuk dimainkan, apalagi piano dan Keyboard yang punya relevansi gereja. Sedangkan Biola, Hareubab, dan Gambus termasuk yang paling sering dimainkan pada masa orde lama. Biola dikenal dengan biola Aceh yang biasa digunakan untuk mengiringi pantun dan lawak yang ditokohkan oleh Nyak Maneh di daerah Pidie, namun biola Aceh lainnya dimainkan di Aceh Timur, namun di Aceh Timur lebih sebagai alat pengiring musik dengan Cord yang berjalan menyerupai irama syair persis dengan Nazam. Hareubab (Arbab Aceh) instrumen gesek Aceh ini ditemukan di daerah Pidie, Aceh Barat, dan Aceh Besar. Arbab Aceh dibuat dari tempurung besar, dipasang tangkai kayu sepanjang hampir 50 cm, dan dilengkapi dengan dawai logam. Biasa digunakan untuk mengiringi pantun jenaka. Penyanyinya seorang pria berpakaian wanita yang disebut Fatimah Abi.

Sementara gambus merupakan alat musik yang berasal dari Arab. Alat ini sudah umum digunakan di Indonesia dan lebih dikenal sebagai alat musik padang pasir. Dalam musik-musik rakyat yang biasa menjadi mainan masayarakat Aceh seperti alat tiup yang terbuat dari batang padi kering atau jerami (wa), peluit yang terbuat dari pelepah daun pinang yang menyerupai suara burung (peuleupeuek), alat tiup yang terbuat tanah merah (pib-pib)), alat musik yang terbuat dari selembar besi kecil dan tipis (genggong), alat tiup (buloh) menyerupai suling dengan nada tinggi (bansi), dan seruling yang lebih halus dari bansi. Semua alat musik itu kini nyaris hilang dan tidak populer lagi, sehingga juga tidak dimainkan untuk menjadi bagian dari alat musik Aceh. Akibatnya jenis-jenis itu juga ikut hilang ditelan zaman.

Lagu Aceh yang dimusikan baru dikenal pada masa orde baru, dimana diawali dengan lahirnya lagu-lagu pop seperti Bungong Jeumpa, Bungong Seulanga, dan Dibabah Pinto. Sebelumnya, lagu-lagu Aceh namun dalam format seudati yang disebut lagu. Sedangkan untuk mengiring tari tetap dalam format tradisi seperti Ranup Lampuan yang cuma diiringi musik percusi Rapai, Genderang, dan Seurune Kale. Begitu juga dengan pencipta lagu baru terlahir pada tahun 70-an, dimana Ibnu Arhas termasuk tokoh yang mencipta lagu, kendati dengan syair yang lari dari kebiasaan menulis syair Aceh.

Industri Musik
Belakangan ini sudah banyak kita temui kaset-kaset Aceh yang direkam dengan berbagai jenis musik, namun sangat sedikit yang menyentuh khas Aceh. Tentu saja inilah yang disebut musik industri. Kalau musik sudah menyentuh industri, banyak hal bisa terjadi disana, seperti pertimbangan untuk memasukan lebih banyak unsur tradisi karena memerlukan biaya relatif mahal, sehingga garis yang ditempuh adalah efektifitas, yaitu murah dan laku.

Akibatnya, stamina pencarian untuk musik Aceh menjadi kecil lantaran arah yang dipilih ekonomis, seperti pemanfaatan keyboard yang dapat dengan mudah melahirkan aneka musik walau tidak menghasilkan musik maksimal. Keyboard merupakan alat musik yang dimainkan oleh satu orang saja. Sound-sound yang dilahirkan dari Keyboard terdengar kaku dan tidak sedikitpun menyentuh alat aslinya.

Industri rekaman sejenis ini diawali dengan lahirnya album Jen jen Jok pada era 80-an, dimana Penyanyi A Bakar menjadi penyanyi pertama yang berhasil mempopulerkan industri dalam musik Aceh. Setelah album itu beredar dan diterima di pasar Aceh, selanjutnya lahirlah musik-musik sejenis yang di industrikan.

Gara-gara musik Keyboard itu pula lantas di Aceh menjadi unik. Irama musik yang sempat bertahan hingga sekarang adalah remix yang di padu dengan bermacam-macam irama lainnya seperti Remix Dangdut, Disco Dut, Cha-cha Dut dan lain-lain. Hasilnya, musik Aceh tidak bergerak dan cuma berkutat di seputar yang itu-itu saja, gampang menyerap dan meniru.

Semasa Jen Jen Jok, masih ada toleransi lebih dalam muatannya seperti syair-syair Aceh yang terarah. Belum berbentuk syair-syair umum layaknya lagu-lagu Indonesia. Perdebatan soal syair Aceh muncul tatkala Nyawoung, sebuah kaset Aceh kotemporer, berhasil memuat syair-syair Aceh lama yang sesuai dengan rumusan penulisan lirik Aceh. Sejak saat itu, syair menjadi penting dalam lagu-lagu Aceh. Kaset yang terkenal di Aceh Hasan Husen merupakan bukti kalau syair menjadi penting. Lagu-lagu yang dinyanyikan Rafly itu, justru bukan lantaran musiknya, melainkan lirik yang digunakan jauh lebih akrab, dengan rumusan penulisan yang sesuai.

Masalah lirik ini memang menjadi kajian tersendiri setiap kali membicarakan musik Aceh, lantaran syair punya sejarah sendiri dalam perkembangan seni di Aceh, seperti halnya kekuatannya dalam menyalurkan pesan-pesan kepada masyarakat luas. Orang Aceh sejak dulu memang lebih dalam hal menghayati lirik, terbukti dengan berkembangnya seni sya’er yang begitu besar.

Pengkajian lirik bisa dimulai dari perpuisian Aceh yang berkembang pada abad ke-19, dimana lirik itu penting dalam perang panjang melawan kompeni. Dalam perang Aceh itu, hidup seorang penyair dan penyanyi Aceh yang terkenal bernama Dolkarim. Dia membawakan puisi-puisi lagu ditengah pejuang untuk membakar semangat rakyat melawan kolonialisme.

Dengan memberikan contoh lirik yang ada hubungannya dengan semangat perjuangan, memang tak selamanya mulus dalam arti artistik, karena terbuka peluang untuk melihat lirik-lirik seperti itu dengan lebih nalar, dan darinya diperoleh semacam pegangan, bahwa puisi-puisi yang dinyanyikan untuk tujuan politis, atau berkaitan dengan pandangan politis seringkali tidak bebas sebagai seni, dan lebih banyak tertawan dalam ungkapan-ungkapan bahasa klise. Walau begitu peranan Dokarim dalam menyanyikan puisi-puisi perjuangan itu, sekurangnya memberikan jaminan akan berlakunya nilai kawirasa yang baik. Hal itu harus dilihat sebagai dorongan estetis sastra, karena adanya tradisi sastra yang bersinambung dengannya. Tradisi itu dalam sastra Aceh berlangsung sebagai ekstansi dari tradisi lirik-lirik Arab Zaman Islam.

Tradisi lirik itu kemudian dilanjutkan oleh penyair terpandang pada era 80-an abad ke-19, yaitu Teungku Cik Pante Kulu. Apa sebab dia berhasil mengembangkan tradisi lirik dikalangan masyarakat Aceh, sebab tema yang digarapnya berhubungan erat dengan agama Islam, yaitu hidup sesuai dengan jalan yang diridhoi Allah –atau dalam kata-kata yang lazim disebut ‘fi sabilillah’.

Dari kajian tradisi Lirik diatas, barangkali itulah yang bisa dijadiakan acuan apabila masyarakat Aceh hanya loyal pada lirik-lirik yang menyentuh kehidupan sosial masyarakat dan agama. Hasan Husen menjadi perlu dilihat sebagai contoh tradisi lirik yang hidup di zaman sekarang, terbukti direspon oleh banyak kalangan, baik oleh agamawan maupun cendikiawan. Dalam tradisi liriknya, album Hasan Husen bukan cuma berkisah masalah agama, tetapi lebih jauh bercerita pada kehidupan sosial masyarakat yang berlangsung di Aceh.

Gambaran itupula kemudian yang menjadikan kita semakin yakin, bahwa pendekatan kemasyarakat adalah mutlak dalam melahirkan tradisi seni sebuah wilayah, tidak terkecuali Aceh. Jadi, kalau dicermati dengan teliti, tidak ada kebanggaan kita yang berlebihan pada musik Aceh yang ada—bahkan hingga perkembangannya sampai sekarang ini. Kalupun serius mau berkutat pada penggalian musik Aceh, yang mutlak dan harus dilakukan adalah pendekatan lagu dan irama Aceh, seperti vocal Aceh yang khas. Disamping tradisi lirik menjadi penting agar vocal menjadi kuat dan berirama. Kalau itu sudah dijangkau, maka berbicara musik Aceh bukan lagi biasa, tetapi sudah menjadi acuan penting dalam perkembangan tradisi musik dunia, mengekor pada India, Arab, dan Cina yang merupakan negara paling banyak memberi konstribusi kepada musik dunia, dan Aceh perlu mencobanya.!!!!

Facebook
Twitter
WhatsApp
LinkedIn

Berita Terkait