Simposium Internasional Aceh Baru Perigati 10 Tahun Perdamaian

Konsorsium Aceh Baru, Pemerintah Aceh, dan Jaringan Universitas untuk Perdamaian Aceh memperingati 10 tahun perdamaian dengan menyelenggarakan Aceh Peace Forum. Rangkaian kegiatannya antara lain simposium internasional, malam perdamaian, pameran foto dan launching buku.
Koordinator Pelaksana Aceh Peace Forum, Juanda Djamal, mengatakan acara ini bertujuan untuk mengkaji capaian proses pembangunan perdamaian Aceh dalam sepuluh tahun terakhir.
“Harapannya, informasi ini dapat melahirkan gagasan strategis dalam mengupayakan terciptanya perdamaian positif di masa depan, selain itu 10 tahun damai juga menjadi momentum yang tepat untuk mempertemukan kepentingan ragam stakeholder, mensinerginakan gerak dan langkah, dan sangat terbuka terbangunnya kepentingan Aceh yang lebih besar di masa depan,” jelasnya, Senin, 10 Oktober 2015.
Simposiun internasional yang diselenggarakan di ruang senat biro rektor Unsyiah ini akan berlangsung selama dua hari, yakni 12-13 Agustus.
Menurut Juanda peserta dari luar Aceh, terutama beberapa wilayah konflik seperti Patani, Moro, dan Papua akan hadir dalam serangkaian acara tersebut. “Tentunya mereka ingin belajar atas pengalaman proses penyelesaian konflik Aceh,” sambung Juanda.
Hadir pula Mantan Ketua Aceh Monitoring Mission, Pieter Feith, yang akan menjadi keynote speaker pada acara pembukaan 11 Agustus di Meuligo Gubernur Aceh.
Selain itu, ada Natsuko Saeki dari Jepang, Otto Syamsuddin Ishak dari Komnas RI, dan Ahmad Taufan Damanik, serta Hamid Awaludin yang merupakan penandatanganan perjanjian damai di Helsinki mewakili pemerintah Republik Indonesia.
Ada tiga universitas, yaitu Unsyiah, UIN Ar-Raniry dan Unimal, akan menyampaikan kerangka strategis pembangunan Aceh di masa depan. Sedangkan organisasi masyarakat sipil akan menyampaikan tentang gagasan skenario Aceh baru.
“Kerangka strategis tersebut akan dipresentasikan langsung oleh ketiga rektor dari universitas tersebut,” ungkapnya. Seluruh gagasan tersebut, sambungnya, dirumuskan menjadi sebuah blue print pembangunan masa depan Aceh yang dapat disampaikan pada para pihak, baik pemerintah Aceh, pemerintah Republik Indonesia maupun internasional.
Untuk malam perdamaian sendiri, tutur Juanda, akan diisi dengan sejumlah pertunjukan, di antaranya, pementasan teater, puisi musikalilasi, tarian, pemutaran film, dan sejumlah pementasan lainnya.
“Malam perdamaian ini terbuka untuk umum dan akan dilangsungkan di ACC Sultan Selim II pada 12 Agustus malam,” kata dia.
Aceh Peace Forum diharapkan menjadi sarana bersama para ahli penyelesaian konflik dan perdamaian.
“Diharapkan pula forum ini dapat terus diselenggarakan setiap dua tahun, bukan hanya menyampaikan tentang pengalaman Aceh, tetapi juga mengadvokasi keadaan konflik dan proses damai yang terjadi di wilayah lainnya seperti patani, Moro, Papua dan sebagainya. Aceh Peace Forum dapat terus berkontribusi bagi terwujudnya perdamaian di Asia tenggara maupun dunia,” tutup Juanda. | Tgj |

Facebook
Twitter
WhatsApp
LinkedIn

Berita Terkait